Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Psikologi Korupsi

17 Juni 2017   22:53 Diperbarui: 18 Juni 2017   04:10 2270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : www.corruptionwatch.org.za

Dalam bulan ini saja paling tidak KPK telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sebanyak 3 kali yang melibatkan berbagai pihak termasuk pejabat negara termasuk  kasus yang baru saja terjadi adalah OTT DPRD Kota Mojokerto.

Jika melihat seringnya ditemukan kasus korupsi di berbagai lembaga mengidikasikan adanya fenomena gunung es yang mulai muncul ke permukaan.  Orang awam tentunya bertanya tanya mengapa kasus korupsi terus berlanjut, di tengah tengah upaya bersama memberantas korupsi ini.  Disamping itu lembaga pencegahan korupsi seperti Irjen, BKP, KPK dll sudah ada dan dibentuk untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap tindakan korupsi.

Jika kita menengok kembali sejarah peradapan dunia, korupsi bukanlah sesuatu yang baru namun merupakan praktek kuno yang melanda  Romawi, Yunani, Tiongkok  dll yang berujung pada keruntuhan kejayaan dinasti dan kerajaan kuno tersebut.

di Zaman kekaisaran Romawi  kuno ada ungkapan sbb:

"Aetas parentum, peior avis, tulit Nos nequiores,mox daturos Progeniem vitiosiorem"

yang kira kira berarti generasi orang tua kami lebih buruk dari generasi kakek kami dalam hal korupsi. Kehancuran kami akibat tindakan orang tua kami, dan anak anak kami akan mengalami kehancuran  yang lebih parah.

Ungkapan tersebut menggambarkan bagaimana buruknya praktek korupsi di jaman Romawi kuno yang mengakibatkan runtuhnya kekaisaran Romawi yang sempat menguasai dunia.  Kehancuran yang sama juga terjadi di jaman Yunani kuno dan kekaisaran Tiongkok  kuno.

Di era modern psikologi tindakan korupsi ini menyangkut sifat ketidakjujuran seseorang yang  yang mendorong individu tersebut melakukan tindakan korupsi sangat terkait dengan moralitas dan lingkungan dimana individu tersebut berada.

Jika kita bertanya secara acak, kita tentu akan mendapatkan jawaban bahwa sebagian besar orang tidak setuju dengan tindakan korupsi termasuk di negara yang paling korup di dunia sekalipun.  Namun pertanyaan  sekarang adalah mengapa korupsi tersebut semakin meluas dan menyangkut hampir di semua sendi sendi kehidupan masyarakat?

Tindakan korupsi ini semakin berkembang dari hanya merupakan tindakan individu menjadi tindakan berkelompok.  Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah jika ada kelompok individu yang melakukan korupsi, maka individu atau kelompok lain di sekitarnya cenderung  melakukan meniru tindakan tersebut.

Tindakan tiru meniru dalam hal korupsi ini memang sangat menarik untuk di bahas, karena pada suatu titik tindakan korupsi yang dilakukan ini berubah menjadi pembenaran karena orang orang di sekitarnya melakukan hal yang sama.

Hasil studi yang terkait dengan psikologi korupsi ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki perasaan  dan solidaritas  menjadi bagian dari suatu kelompok akan menunjukkan rasa kesetiakawanannya paling tidak dengan menutup mulut walaupun dia menyaksikan tindakan korupsi tersebut berlangsung.

Salah satu hasil studi yang memfokuskan pada dikotomi antara keserakahan dan kebutuhan individu, menunjukkan bahwa pejabat publik di berbagai negara memiliki kecenderungan menerima gratifikasi  sebagai suatu kebiasaan kecuali jika dilakukan pengawasan yang sangat ketat.  Oleh sebab itu,  kombinasi antara kurangnya monitoring dan akuntabilitas dalam pemerintahan akan memperbesar potaensi terjadinya korupsi.

Ditinjau dari segi psikologi korupsi, paling tidak ada dua  faktor utama yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan korupsi, yaitu (1)  sifat serakah yang dimiliki seseorang; (2) rasa percaya diri yang berlebihan yang menganggap bahwa dirinya dilahirkan sebagai orang besar  sehingga dirinya  memerlukan kekayaan materi yang didapat dengan jalan apapun.  Orang yang memiliki karakter seperti ini biasanya beranggapan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan tidak akan ketahuan, kalaupun  nantinya terdeteksi dan tertangkap, maka tindakan hukum yang diterimanya akan ringan.

Jadi sebenarnya  tindakan pencegahan korupsi merupakan sesuatu yang komplek dan penyelesainya tidak sesederhana hanya dengan menyiapkan lembaga pengawasan semata mata.  Dalam  mengantisipasi fenomena gunung es korupsi yang terjadi di Indonesia, sudah saatnya pihak berwenang mengategorikan tindakan korupsi  merupakan tindakan kejahatan yang luar biasa terutama untuk tindakan korupsi yang masif dan sistimatis.

Pencegahan koruspi tidak dapat lagi hanya dilakukan dengan cara menghimbau saja melainkan harus berupa tindakan nyata yang memberikan efek jera, yaitu tindakan pemiskinan bagi para pelaku korupsi yang diiringi dengan tindakan hukum yang sangat berat dan disertai dengan tindakan pengucilan dari masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun