Mohon tunggu...
Roziqin Matlap
Roziqin Matlap Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Hukum

suka dengan hal-hal yang berbau hukum, politik, agama, sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bali: Surga Diambang Kehancuran

1 Oktober 2013   15:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:08 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

I.PENDAHULUAN

Bali, bagi sebagian masyarakat internasional, bisa jadi lebih popular dibandingkan “Indonesia.” Banyak yang tidak tahu bahwa Bali adalah bagian dari Indonesia. Dengan keindahan alamnya, Bali menjadi tujuan wisata nomor satu di Indonesia dan sangat terkenal di seluruh dunia. Banyak perhelatan tingkat regional dan global dilaksanakan di Bali. Tidak banyak di tempat lain di dunia ini, dimana ada pulau kecil namun begitu lengkap, dalam pengertian geografis, sosio ekonomi, maupun sosio kultural. Orang sulit menemukan tempat lain dimana budaya agraris hidup dalam filosofi estetik seperti di Bali. Juga sulit menemukan orang-orang yang akivitas hidup kesehariannya sekaligus berarti pelaksanaan ajaran agamanya, dengan intensitas penyatuan yang sekental kehidupan masyararakat di Bali. Tidak berlebihan bila sebagaian orang menyebut Bali sebagai surga dunia, atau yang sering disebut the last paradise. Namun, justru kelengkapannya itulah yang mendatangkan masalah bagi Bali. Pembangunan besar-besaran demi tujuan pariwisata, ternyata banyak mengabaikan kepentingan lingkungan dan sosial. Bali pun di ambang kehancuran.

II.PERMASALAHAN

Dalam kajian singkat ini, akan dikaji permasalahan sebagai berikut:

A.Apa saja potensi Sumber Kekayaan Alam (SKA) di Provinsi Bali?

B.Bagaimana kependudukan di Provinsi Bali?

C.Apa saja keunggulan Provinsi Bali?

D.Apa saja masalah yang ada di Provinsi Bali?

III.LEBIH DEKAT DENGAN BALI

A.Potensi Sumber Kekayaan Alam (SKA) di Provinsi Bali

Sebagian besar wilayah Provinsi Bali merupakan daerah pegunungan dan perbukitan. Rantai pegunungan memanjang dari barat ke timur. Di antara pegunungan itu terdapat gunung berapi yang masih aktif, yaitu Gunung Agung (3.142 m), dan Gunung Batur (1.717 m). Beberapa gunung yang tidak aktif lainnya mencapai ketinggian antara 1.000 - 2.000 m. Rantai pegunungan yang membentang di bagian tengah Pulau Bali menyebabkan wilayah ini secara geografis terbagi menjadi dua bagian yang berbeda, yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dari kaki perbukitan dan pegunungan dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Ditinjau dari kemiringan lerengnya, Pulau Bali sebagian besar terdiri atas lahan dengan kemiringan antara 0 - 2 % sampai dengan 15 - 40 %. Selebihnya adalah lahan dengan kemiringan di atas 40 %.

Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga merupakan ibukota provinsi. Selain Pulau Bali, Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar, dan Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km.

Penggunaan lahan di Provinsi Bali terbagi atas lahan sawah sebesar 82.053 ha, lahan kering 350.926,99 ha, dan hutan sebesar 130.686,01 ha. Penggunaan lahan kering di Provinsi Bali terbagi atas ladang 36,62 persen, perkebunan 36,12 persen, pemukiman 13,75 persen, dan sisanya untuk penggunaan lain.

Lahan persawanan terluas terletak di Kabupaten Tabanan (pada 2006 mencapai 22.490 ha). Hal ini sesuai dengan julukan Tabanan sebagai lumbung beras. Kawasan hutan di Provinsi Bali memiliki luas sekitar 130.686,01 ha dan 23,2% dari luas Pulau Bali, yang terdiri dari kawasan Hutan Lindung seluas 95.766,66 ha (73,28% dari luas hutan keseluruhan). Hutan Konservasi seluas 26.293,59 ha yang terdiri dari: Cagar Alam seluas 1.762,80 ha dan Taman Nasional seluas 19.002,89 ha yang terdiri dari daratan seluas 15.587,89 ha dan perairan seluas 3.415 ha, Hutan Wisata Alam seluas 19.002,89 ha, Taman Hutan Raya seluas 1.373,50 ha, Hutan Produksi Tetap seluas 1.907,10 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 6.719,26 ha dan Hutan Bakau seluas 3.013 ha yang terdiri dari 2.177 ha di dalam kawasan hutan dan 834 ha terletak di luar kawasan hutan.

B.Kependudukan di Provinsi Bali

Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2010 tercatat jumlah penduduk di Bali sebanyak 3.522.375 jiwa, yang terdiri dari 1.760.556 jiwa (49,98%) penduduk laki-laki, dan 1.761.819 jiwa (50,02%) penduduk perempuan. Jumlah penduduk tahun 2010 ini naik 1,45% dari tahun sebelumnya. Jumlah penduduk Bali ini sekitar 6% dari seluruh Indonesia.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/ Kota di Bali

Akhir Tahun 2010

Dalam periode 10 tahun terakhir (2000-2010), laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bali mencapai 2,15 persen per tahun. Adapun Kabupaten Badung (4,63%/tahun) dan Kota Denpasar (4,00%/tahun) tercatat sebagai daerah dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi. Fenomena ini diduga karena kedua daerah tadi sebagai daerah potensi bagi kaum migran/pendatang, disamping sebagai daerah destinasi pariwisata Bali. Kabupaten Klungkung dan Karangasem merupakan dua kabupaten dengan laju pertumbuhan penduduk terendah, angkanya berada di bawah satu persen.

Bila dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, jumlah angkatan kerja kelompok yang terbesar adalah berasal dari jenjang pendidikan ≤ SD yaitu dengan total 511.493 jiwa dengan jumlah laki-laki sebesar 255.258 jiwa dan perempuan 256.232 jiwa. Sedangkan untuk angkatan kerja terkecil berasal dari kelompok pendidikan S2/S3 yaitu dengan total 8.008 jiwa dengan jumlah laki-laki 5.975 jiwa dan jumlah perempuan 2.033 jiwa.

Tabel 2 Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja

Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan

Tahun 2010

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Bali pada Februari 2013 mencapai 1,89 persen, mengalami penurunan dibanding TPT Agustus 2012 sebesar 2,04 persen dan TPT Februari 2012 sebesar 2,11 persen.

Adapun perkembangan Upah Minimum Provinsi Bali selama 5 Tahun Terakhir adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Upah Minimum Provinsi Bali

Pada tahun 2012, sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi terbesar terhadap total perekonomian sebesar 30,23 persen diikuti sektor pertanian sebesar 16,84 persen dan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 14,53 persen.

Besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bali pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai Rp.83,94 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan (tahun 2000) mencapai Rp.32,80 triliun.

Pertumbuhan ekonomi tahun 2012 sebesar 6,65 persen, terjadi pada Konsumsi Pemerintah sebesar 3,74 persen, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 19,28 persen, Impor sebesar 9,87 persen, Ekspor sebesar 4,34 persen, Konsumsi Lembaga Swasta Nirlaba sebesar 7,57 persen, disusul Konsumsi Rumah Tangga sebesar 7,22 persen, dan Konsumsi rumah tangga 3,50%. Kegiatan ekspor barang dan jasa di Provinsi Bali pada bulan Mei 2013 mencapai nilai US$ 50.600.499. Angka ini menurun 0,91 persen dibandingkan dengan nilai ekspor keadaan bulan Mei 2012 yang mencapai US$ 51.067.171, dan meningkat 8,92 persen jika dibandingkan dengan bulan April 2013 yang mencapai US$ 46.457.441.

C.Keunggulan Provinsi Bali

Beberapa keunggulan provinsi Bali adalah sebagai berikut.

1.Pariwisata

Pariwisata menjadi andalan Provinsi Bali. Lebih dari 65 persen kehidupan perekonomian Bali dipengaruhi oleh industri pariwisata (perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan; dan jasa-jasa).

Dunia pariwisata Bali menunjukan kondisi yang makin baik. Salah satu indikatornya adalah dengan terus meningkatnya jumlah wisatawan manca negara yang datang langsung ke Bali. Pada bulan Mei 2013, jumlah wisatawan yang datang ke Provinsi Bali mencapai 247.972 orang, dengan wisatawan yang datang melalui bandara sebanyak 244.874 orang, dan yang melalui pelabuhan laut sebesar 3.098 orang.

Tingkat Penghunian Kamar (TPK) untuk keadaan bulan Mei 2013 pada hotel berbintang di Bali mencapai rata-rata sebesar 60,31 persen dan rata-rata lama menginap tamu asing dan Indonesia di hotel sejenis di Bali adalah selama 3,12 hari

.

2.Perikanan

a.Perikanan Laut

Berdasarkan potensi dan jenis sumberdaya ikan, perairan laut daerah Bali dengan luas ± 9.634,35 km² (jarak dari garis pantai ± 12 mil) dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah perairan laut yaitu:

1)Perairan Bali Utara dengan potensi lestari sumberdaya ikan diperkirakan 24.606,0 ton/tahun.

2)Perairan Bali Timur dengan potensi lestari sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 19.455,6 ton/tahun.

3)Perairan Bali Barat, dengan potensi lestari sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 97.326,0 ton/tahun.

4)Perairan Bali Selatan dengan potensi lestari sumberdaya ikan di laut diperkirakan sebesar 147.278,75 ton per/tahun.

b.Perikanan Darat

Luas perairan umum yang terdiri dari danau, sungai, waduk dan rawa yang dapat dimanfaatkan untuk usaha perikanan ± 1.771.800 Ha dengan perkiraan potensi sebesar ± 1.500 ton/tahun.

3.Peternakan

Tabel 4. Populasi Ternak Menurut Kabupaten/ Kota

dan Jenis Ternak di Bali

Tahun 2010

D.Masalah yang ada di Provinsi Bali

Masalah Provinsi Bali dapat dilihat dari aspek pancagatra sebagai berikut.

1.Ideologi

Berkembangnya pariwisata diikuti dengan masuknya para wisatawan dari dalam dan luar negeri. Mereka datang dengan membawa nilai-nilai masing-masing. Terkadang nilai-nilai tersebut bertentangan dengan Pancasila. Misalnya: sex bebas dan mabuk-mabukan. Nilai-nilai ini sebagian telah meracuni masyarakat Bali. Sempat beredar isu bahwa banyak pemandu wisata Bali juga berperan sebagai gigolo bagi wisatawan. Dulu sebelum marak pariwisata, Bali terkenal sebagai daerah aman. Tidak ada pencurian, bahkan rumah dibiarkan dibangun tanpa pagar. Namun sejak banyaknya pendatang, nilai-nilai itu sudah hilang. Bali menjadi daerah yang tidak aman dari pencurian.

Akibat pariwisata juga menjadikan masyarakat berpikir individualis dan kapitalis. Nilai-nilai ini tentu bertentangan dengan Pancasila. Demi keuntungan pariwisata, masyarakat meninggalkan adat, merusak lingkungan, dan saling bersaing secara tidak sehat. Masing-masing pemerintah daerah juga berjalan sendiri-sendiri dalam melaksanakan pembangunan, tanpa ada kesamaan persepsi dan perasaan sebagai kesatuan ruang.

Untuk mengatasi masalah ideologi ini, harus diimplemantasikan kembali nilai-nilai luhur Pancasila, yang antara lain dengan melaksanakan perintah agama dengan baik, yaitu menjauhi hal-hal yang dilarang Tuhan dan melaksanakan perintah-Nya. NIilai-nillai buruk harus ditinggalkan. Masyarakat yang sebagian besar beragama Hindu, tentu tahu bahwa ada karma. Demikian pula di agama lain, dikenal konsep serupa. Perbuatan buruk atau baik akan diterima akibatnya oleh pelaku dikemudian hari.

2.Politik

Sebagian besar Pendapatan Asli Daerah Bali bersumber dari pariwisata. Karena pariwisata Bali maju pesat, masyarakat internasional lebih mengenal Bali dari pada Indonesia. Hubungan Provinsi Bali dengan masyarakat internasional juga terjalin dengan erat. Hal ini berpotensi menjadikan Bali terlalu percaya diri sehingga meremehkan daerah lain, atau bahkan pemerintah pusat. Otonomi daerah yang seluas-luasnya, menjadi tambahan alasan bagi Provinsi Bali untuk mandiri. Jika sewaktu-waktu terjadi ketidakpuasan atas hasil pembangunan dari pemerintah pusat, maka Bali adalah provinsi yang paling siap untuk memisahkan diri.

Untuk mengatasi permasalahan ini, maka perlu pemantapan nilai-nilai kebangsaan kepada para penyelenggara pemerintahan, baik pusat maupun daerah, serta kepada masyarakat Bali. Harus ditumbuhkan kesadaran bahwa Bali harus dijaga dengan baik, sebagai bagian dari aset bangsa Indonesia. Pembangunan Bali harus dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan memperhatikan pemerataan yang berkeadilan.

3.Ekonomi

Booming pariwisata di Bali menyebabkan masyarakat Bali mengalihkan semua potensinya untuk mengembangkan pariwisata, sehingga lebih dari 60 persen perekonomian bergantung pada pariwisata. Hamparan lahan pertanian kini berubah menjadi gedung, villa, dan hotel yang dibangun dengan mengesampingkan fungsi lahan itu sendiri. Banyak lahan-lahan produktif yang dialih fungsikan begitu saja untuk pembangunan pariwisata, seperti kawasan Ubud, Gianyar serta kawasan Bali selatan dan tempat lainnya di Bali. Banyak obyek wisata yang dibangun dengan memanfaatkan lahan produktif. Pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya juga menyebabkan kesuburan tanah berkurang dan pengairan terhambat, sehingga semakin meminggirkan sektor pertanian.

Lemahnya sektor petanian antara lain terlihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bali pada Triwulan I-2013, dimana sektor pertanian mengalami pertumbuhan negatif sebesar -2,97 persen dibanding Triwulan IV-2012. Pada tahun 2012, Sektor Pertanian pun mengalami pertumbuhan terendah dibandingkan sektor lain.

Struktur ekonomi yang mengandalkan satu sektor saja perlu diwaspadai, mengingat sektor pariwisata sangat rentan terhadap gejolak sosial. Sedikit saja gejolak sosial terjadi di Bali, maka akan berakibat buruk pada pariwisata, yang pada akhirnya akan berakibat buruk pada perekonomian masyarakat Bali. Hal ini pernah terjadi ketika pengaruh pengeboman di Kuta menjadikan pariwisata menjadi sepi, dan menyebabkan perekonomian Bali lumpuh.

Lebih lanjut, perlu diteliti lebih lanjut, apakah majunya sektor pariwisata akan berakibat secara langsung terhadap kesejahteraan masyarakat Bali? Sayangnya, data menunjukkan sebaliknya. Angka kemiskinan masyarakat Bali cenderung naik tiap tahun. Misalnya, pada bulan Maret 2013 jumlah penduduk miskin di Bali mencapai 162,51 ribu orang atau 3,95 persen dari total penduduk Bali. Angka ini mengalami peningkatan dibanding Bulan September 2012 dimana jumlah penduduk miskin sebanyak 160,95 ribu orang atau sekitar 3,95 persen dari total penduduk Bali. Gegap gempita pariwisata ternyata tidak membawa dampak kesejahteraan secara langsung bagi sebagian masyarakat Bali. Hal ini karena penguasaan tempat wisata: resor, villa, hotel, pantai, sebagian besar berada di tangan investor yang bukan masyarakat asli Bali.

Untuk mengatasi permasalahan ini, maka perlu dibangun kesadaran untuk membangun ketahanan ekonomi secara lebih seimbang, setidak-tidaknya antara sektor pariwisata dan sektor pertanian, yang merupakan akar kultur masyarakat Bali. Perlu diketahui bahwa Bali sebelum tergila-gila dengan pariwisata, pernah makmur karena pertaniannya, terutama dari cengkeh, vanili, jeruk, kakao, buah-buahan, serta hortikultura. Pentingnya sector pertanian juga dapat dilihat dari penetapan Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 sebagai ‘’Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional. Penguasaan sector perekonomian juga perlu didesain agar tidak mengarah pada kesenjangan sosial antara masyarakat pendatang dengan masyarakat asli.

4.Sosial Budaya.

Perkembangan pesat pariwisata menyebabkan permasalahan lingkungan di Bali. Demi keuntungan, pembangunan berskala besar dilakukan tanpa memperhatikan pelestarian lingkungan. Pencemaran atas air, tanah, dan udara semakin menjadi-jadi. Tumpukan sampah dimana-mana akibat pola perilaku masyarakat membuat pencemaran dan kerusakan lingkungan. Selain itu, pembangunan pariwisata Bali memiliki dampak negatif terhadap lingkungan fisik yang mudah terlihat baik air, tanah, maupun udara.

Kawasan hutan dibabat untuk sarana pariwisata sehingga berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan. Jika seluruh kawasan hutan ditebang dan digunakan untuk kepentingan pariwisata serta mengesampingkan fungsi hutan itu sendiri, akan membawa dampak yang negatif seperti banjir dan tanah longsor. Tidak hanya itu, pembangunan obyek wisata kerap kali menggusur atau mengganggu keberadaan tempat-tempat suci, serta mengesampingkan adat dan budaya masyarakat Bali.

Pembangunan pariwisata sering kali mengesampingkan konsep tri hita karana yakni hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan. Sering kali obyek wisata dibangun berdasarkan tempatnya yang strategis tanpa melihat kepercayaan yang dimiliki masyarakat Bali sehingga timbul masalah dan gesekan dengan masyarakat sekitar terkait dengan pembangunan obyek wisata di Bali. Tak jarang jika pembangunan pariwisata mencakup daerah-daerah yang dianggap sakral oleh masyarakat sekitar sehingga mengganggu kelancaran dalam prosesi upacara adat dan keagamaan. Misalnya saja obyek wisata yang menutup kawasan pantai di Bali dan menutup fungsi pantai sebagai tempat suci bagi masyarakat bali dalam melakukan prosesi upacara melasti yakni penyucian alam semesta menjelang Hari Raya Nyepi.

Perubahan alih fungsi lahan produktif yang kini sebagian besar digunakan untuk pembangunan, tidak hanya berdampak pada kelestarian lingkungan, tetapi juga berdampak pada keberadaan flora dan fauna. Semakin berkurangnya lahan dan tempat dimana mereka biasa hidup membuat banyak flora dan fauna menjadi langka bahkan terancam punah. Jika pembangunan fisik pariwisata hanya mengedepankan keindahan dan mengesampingkan kelestarian lingkungan maka dampaknya tidak hanya pada pencemaran lingkungan saja namun dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Dengan demikian, pembangunan dalam rangka pariwisata yang tidak memperrhatikan aspek lingkungan, maka akan berdampak negatif dan menjadi bumerang mematikan pariwisata Bali.

Pemanfaatan ruang di Bali merupakan rangkaian proses penataan ruang yang bereputasi buruk. Nyaris tidak ada keterpaduan antara perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Meski telah banyak disusun rencana tata ruang yang lebih rinci guna menunjang pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali, tapi ternyata tak sepenuhnya mampu mengantisipasi dan memecahkan permasalahan tata ruang Bali.

Pelaku pemanfaatan ruang di Bali yang dominan adalah dunia usaha, disusul masyarakat dan pemerintah. Dunia usaha member kontribusi dalam investasi prasarana sektor unggulan seperti pariwisata, industri, perdagangan dan jasa. Masyarakat member andil melalui pembangunan perumahan. Adapun pemerintah menyediakan prasarana wilayah. Namun, pemerintah daerah juga berperan mengeluarkan kebijakan pemanfaatan ruang. Dalam hal ini, akan disoroti pelanggaran pemanfaatan ruang yang digunakan oleh dunia usaha, yang memberikan dampak besar bagi Bali.

Bentuk pelanggaran yang terjadi dilihat dari sudut RTRWP, RTRWK maupun rencana rinci, antara lain:

Reklamasi pantai di kawasan Teluk Benoa (Kabupaten Badung dan Kota Denpasar) yang dikapling-kapling investor untuk pengembangan fasilitas pariwisata. Fungsinya ditetapkan sebagai Kawasan TAHURA, padahal seharusnya dikonversi;

Pemanfaatan kawasan jurang untuk pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata di bukit Kuta, di selatan Kabupaten Badung, di sepanjang tepian sungai Ayung-Ubud Kabupaten Gianyar serta di kawasan pariwisata Kintamani Kabupaten Bangli;

Pemanfaatan kawasan sempadan pantai untuk fasilitas pariwisata di Kuta Kabupaten Badung, di padang Galak Kota Denpasar, di pantai Lebih Kabupaten Gianyar, di Candidasa Kabupaten Karangasem dan di pantai Lovina Kabupaten Buleleng;

Alih fungsi lahan sawah irigasi teknis di Kabupaten Badung, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar. Penyusutannya mencapai sekitar 1.000 hektar per tahun untuk Bali secara keseluruhan;

Penyerobotan kawasan Hutan Lindung oleh masyarakat (penebangan liar) di Taman Nasional Bali Barat (TNBB) Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng;

Hutan Produksi Terbatas dimanfaatkan untuk Pertanian Lahan Kering;

Pelanggaran terhadap Perda Jalur Hijau terutama di wilayah perkotaan, seperti di kota Denpasar, Kuta, Mengwi, Sukawati, Gianyar, dan Ubud;

Pelanggaran terhadap sempadan jalan, sempadan sungai maupun sempadan kawasan suci yang umumnya terjadi di perkotaan.

Pendirian hotel berbintang di Buleleng Timur yang tidak ditetapkan sebagai kawasan pariwisata;

Di Kabupaten Badung telah terjadi penyimpangan lokasi pusat pemerintahan yang sebelumnya ditetapkan di bagian utara (di Anggungan) kini bergeser ke selatan (ke Sempidi) mendekati Kota Denpasar. Selain itu, pembangunan jalan by pass dan Stadion Buruan di Gianyar tidak sesuai struktur rencana;

Berubahnya fungsi kawasan lindung Hutan Wisata Pancasari (di Kabupaten Buleleng) dan Bedugul (di Kabupaten Tabanan) menjadi vila/akomodasi wisata untuk kasus Villa Bukit Berbunga;

Pengembangan fasilitas akomodasi pariwisata di luar kawasan pariwisata yang telah ditetapkan dalam Perda RTRWP Bali, seperti terjadi di Buleleng Timur dan beberapa tempat di kabupaten lainnya pada tahun 1999;

Peralihan fungsi kawasan Hutan Lindung dan wilayah Resapan Air menjadi areal perkebunan/pertanian lahan kering di kawasan Hutan Lindung Bali Barat (Kabupaten Jembrana), serta menjadi areal permukiman dan villa untuk kasus Villa Petali di Desa Jatiluwih (Kabuapten Tabanan);

Pelabuhan Laut Benoa di Kota Denpasar, masih difungsikan sebagai tempat bongkar-muat barang, padahal tidak sesuai fungsi yang ditetapkan sebagai Pelabuhan Pariwisata dan Pelabuhan Penumpang;

Kegiatan penambangan galian C di kawasan konservasi Gunung Batur (Yeh Mampeh);

Pelanggaran jalur hijau untuk permukiman (Perumahan Murni) dimanfaatkan sebagai fasilitas perdagangan dan permukiman campuran, umumnya terjadi di kota-kota yang berkembang;

RTRWP Bali belum sepenuhnya dijadikan acuan dalam rencana tahapan dan pembiayaan program pembangunan.

Permasalahan sosial budaya lainnya adalah hilangnya penguasaan tanah oleh masyarakat Bali akibat pembangunan guna keperluan pariwisata. Bagi orang Bali, berbicara tentang-tanah berarti berbicara tentang dirinya. Ada gagasan yang bersifat simbolik kultural, atau barangkali lebih tepat disebut sosio-religius, yang tersangkut paut di dalamnya. Karena tanah, bagi orang Bali, adalah simbol “ibu” yang dipandang bukan semata-mata sebagai pemberi berkah kemakmuran melainkan juga sebagai tempat meminta perlindungan dan kekuatan.

Dengan berkembangnya pariwisata, banyak masyarakat Bali yang menjual tanahnya kepada para pengusaha untuk keperluan pembuatan tempat wisata, atau bahkan lebih parah adalah masyarakat Bali yang tanahnya dicabut begitu saja oleh pemerintah atau pemerintah daerah, dengan alasan tanah tersebut tanah negara.. Bila keadaan ini berlangsung terus, maka akan muncul ribuan orang miskin, karena sebagai petani, ia tidak lagi memiliki lahan garapan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, maka perlu ada ketegasan dalam penerapan aturan tata ruang, terutama untuk keperluan pariwisata Bali. Program Bali Clean and Green yang dicanangkan pemerintah Provinsi Bali perlu diapresiasi dalam mengatasi permasalahan pencemaran lingkungan. Dukungan dari masyarakat sangat penting untuk merealisasikan program dari pemerintah ini demi kelangsungan hidup bersama. Masyarakat jangan secara mudah terpengaruh atas iming-iming uang terhadap pembangunan pariwisata yang tidak sistematis, sehingga menyebabkan kerusakan dan keseimbangan terhadap kearifan lokal berkurang.

Kebijakan pembangunan daerah juga harus dilakukan dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan dan bersifat holistik seperti yang tertuang dalam Agenda 21 Nasional dan Agenda 21 Daerah yang bertujuan untuk mengintegrasikan pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan ke dalam kebijakan. Dalaman tataran konkrit, kebijakan pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan penerapan prosedur perizinan yang lebih ketat, yang terkoordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota.

5.Pertahanan dan keamanan

Mudahnya akses masuk ke pulau Bali dari berbagai negara, menjadikan Bali pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya menjadi rentan disusupi kekuatan asing yang mematai-matai atau bahkan menyusun kekuatan guna melemahkan Indonesia.

Penguasaan lahan secara besar-besaran di tengah minimnya lahan, suatu saat akan menyebabkan kelangkaan lahan di Bali, sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya konflik perebutan lahan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, maka perlu ada pemahaman yang baik kepada masyarakat mengenai ancaman dari pihak asing terhadap kekuasaan Indonesia. Hal ini megingat sistem pertahanan Indonesia menganut system pertahanan smesta, dimana rakyat menjadi komponen pendukung dalam pertahanan negara. Dengan pemahaman yang baik dari masyarakat, maka masyarakat dapat menangkal secara dini segenap potensi ancaman terhadap keutuhan NKRI.

Selanjutnya untuk mengatasi konflik pertanahan, maka perlu ada ketegasan pemerintah dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Konflik biasanya terjadi karena faktor ekonomi. Selama masyarakat sejahtera, maka konfilik cenderung dapat dibendung.

IV.PENUTUP

Bali adalah aset nasional yang harus dijaga bersama. Pembangunan Bali harus dilakukan dalam kerangka NKRI serta dilakukan secara sistematis dan terpadu agar terwujud kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pembangunan Bali juga harus dilakukan dengan memperhatikan kepercayaan dan kearifan lokal dalam rangka menjaga keharmonisan dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan sesama. Dengan demikian, Bali tetap menjadi the last paradise, bukan the lost paradise yang menuju kehancurannya.



DAFTAR PUSTAKA

Buku/Artikel

Lestari, Desak Putu Rahayu. Pembangunan Pariwisata Bali Memiliki Dampak Negatif Terhadap Lingkungan Fisik dan Tergerusnya Kearifan Lokal.

Palguna, I Dewa Gede. Saya Sungguh Mencemaskan Bali. Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi: Jakarta. 2008.

Suarca, I Nengah. Tata Ruang di Propiinsi Bali.

Internet

bkpm.go.id

bps.go.id

indonesia.go.id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun