Mohon tunggu...
Rozana Vatkhi
Rozana Vatkhi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Hanya Betina, yang melawan kerasnya dunia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sesak

17 November 2020   21:53 Diperbarui: 17 November 2020   22:05 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam mulai redup tak cerah walau berbintang, mematung membiarkan waktu melambat dengan detak jantung yang terdengar lebih jelas dari biasanya. Semua tertahan, diantara dua cabang bronkus, sesak, sangat sesak. Kelopak mata bertahan tidak bergeming, ia mencoba membuat pertahanan. Namun, semua gagal. Air mata kembali angkat bicara, bibir bergetar tak sanggup berucap, tangan meraih  apapun yang berada didekatnya untuk digenggam, betapa hebatnya menahan rasa sakit dari patah hati dengan hati yang masih mencintai?

Dengan mangkuk soto dan sate keong tengah malam didekat pasar kota, motor kebanggaanmu yang kini sudah tiada? Alun-alun kebanggaan kita? Maaf kadang ku masih menggabungkan kau dan aku, masih seperti biasa untukku, walaupun entah apa arti kita bagimu. Ingat bagaimana kau menarik tanganku diatas motor, kemudian memelukmu dengan tangan mu yang menggenggam erat tak ingin lepas dan membiarkan dirimu mengemudi menggunakan tangan satunya sedangkan motor milikmu butuh kedua tangan untuk mengemudikannya. 

Ada pula dimana kita suka berjalan mengelilingi kota, kau tak membiarkan tanganku lepas dari genggamanmu, kemudian disaat kau dan aku akan berpisah hari itu, kau akan mengecup keningku dan berucap baik-baik dan untuk diriku selalu jaga diri. Tak akan tahan jika setiap sudut kota, kau memiliki kenangan bersamanya. 

Aku sungguh mencintainya, walau tidak seperti cinta Amba kepada Bhisma. Ketika rindu diri membuat angin dan hujan ikut merasakannya, dan membuat mereka memeluknya jika ku tak dapat memeluknya. Dalam langkah bersamanya, dengan tangan yang masih menggenggamku, terbayang bagaimana kisah ini berlanjut. Senyum bahagia itu nyata, aku yakin mata itu tidak pernah berduta. Mengapa sesesak ini, jika kenyataan menginginkan kau pergi dariku. 

Untuk kepergian setelahnya, entah mau kembali atau tidak sama sekali. Entah berapakali ku harus berucap, aku sangat mencintaimu. Entah aku tak sanggup membandingkan perasaan mu dengan apapun. Karna cukup melihat senyum itu bersama ku, melihat kau bahagia bersamaku, melihat apapu tentang mu, walau hanya dari jauh dan kau bahagia sepertinya itu cukup. Munafik jika aku berkata aku bahagia melihat kau bahagia. Tentu saja, aku ingin melihat kau bahagia dan itu bersama ku. 

Hanya bersamaku, sampai sang waktu yang memisahkan aku dan kamu. Kali ini aku tidak ingin egois, jika memang tuhan memilih dirimu untuk orang lain, atau kau didatangkan untukku lagi di masa yang lain. Aku disini, ditempat biasa kau menemuiku, perasaan ku akan tetap sama. Sama seperti kita berdua bersua, kau yang masih malu menyenderkan kepala mu di pundakku yang kecil ini. Iya saat itu, disaat kita masih asik memainkan kisah cinta merah muda. 

Entah akan seperti apa diri nantinya, sungguh sangat buruk diriku saat kehilanganmu. Hanya ingin kau tau, aku masih sangat mencintaimu.

Nav. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun