Mohon tunggu...
Muhammad Royhan
Muhammad Royhan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa semester satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Sumpah Berubah Menjadi Cuitan Sampah

27 Oktober 2021   15:00 Diperbarui: 27 Oktober 2021   15:11 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dari: BMV Katedral Bogor

            Setiap tanggal 28 Oktober, rakyat Indonesia memperingati hari Sumpah Pemuda. Sebagian besar dari kita, tentu mengetahui arti dari kejadian tersebut, yakni tentang pengakuan bertanah air, berbangsa dan berbahasa. Pada awalnya, tujuan diperingatinya Sumpah Pemuda ialah sebagai senjata ideologis untuk memberantas gerakan separatis pada tahun 1950-an. Pada tahun-tahun berikutnya, kejadian tersebut selalu diperingati agar persatuan tetap ada di tubuh Indonesia.

            Salah satu isi dari Sumpah Pemuda ialah “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, artinya rakyat Indonesia sepakat untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berbicara dan menulis di kehidupan sehari-hari. Namun, kita sering menjumpai orang yang berbicara dengan mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Menurut saya, hal tersebut tidak perlu dipermasalahkan karena dengan adanya campuran dalam berbahasa , kita akan lebih mudah memahami bahasa asing.

            Ada satu hal yang saya anggap sebagai suatu masalah, yakni berbicara dan menulis dengan menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Hal tersebut sangat tidak sesuai dengan nilai ketiga dalam Sumpah Pemuda. Yang saya pahami dari nilai tersebut ialah, dalam berkomunikasi kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tanpa memandang siapa yang menjadi lawan bicara kita.

            Dalam laporan yang berjudul Digital 2021, generasi milenial (25-34 tahun) mendominasi penggunaan media sosial di Indonesia. Lalu pada tahun 2020, Microsoft membuat sebuah penelitian tentang perilaku netizen di dunia maya. Hasilnya, netizen Indonesia merupakan netizen yang paling tidak sopan diantara netizen-netizen di negara Asia Tenggara. Hal itu dapat  terjadi karena banyaknya penyebaran berita bohong, ujaran kebencian dan bersikap diskriminatif.

            Hasil penelitian tersebut dapat langsung kita buktikan dengan mudah, yakni dengan membuka media sosial. Jika ada media yang memberitakan tentang kesalahan seorang public figure, maka netizen Indonesia akan berlomba-lomba untuk mengomentarinya tanpa tau hal apa yang sebenarnya terjadi. Sering sekali kita temui komentar netizen yang mengandung ujaran kebencian, bahkan sampai menghina agama yang dipeluk oleh yang bersangkutan. Hal yang sangat miris bukan?

            Anehnya, banyak netizen yang “mengapresiasi” hal tersebut dengan menyukai komentarnya. Banyak juga netizen yang berusaha menasehati tapi bukannya meredam suasana, malah mengundang netizen lain untuk ikut berkomentar. Hal itu terjadi hampir di semua kolom komentar media sosial, seperti Instagram, Youtube, Tiktok dll.

            Komentar yang mengundang ujaran kebencian dapat dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Bisa juga mendapat hukuman berupa sanksi sosial, seperti akun media sosial yang direport oleh para netizen. Bukannya berhenti berkomentar buruk, netizen Indonesia malah terus melakukannya, padahal sudah banyak contoh nyata netizen yang dihukum akibat perbuatan tersebut.

            Sebagai netizen yang bijak, kita harus waspada saat menerima suatu informasi. Jangan langsung menerima atau bahkan menyebarkan informasi yang belum pasti. Hal tersebut akan menyebabkan kekacauan, bukan hanya di dunia maya bahkan hingga ke dunia nyata. Kita harus menelusuri informasi tersebut agar mengetahui apa yang benar-benar terjadi.

            Jika kita menemukan berita seorang public figure yang melakukan sebuah kesalahan, jangan kita komentari habis-habisan. Bayangkan, jika kita yang berada di posisi public figure tersebut, tentu kita tidak merasa nyaman bukan? Cukup jadikan kesalahan orang lain sebagai pelajaran agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama.

            Pihak media juga harus berbenah diri, jangan “menggoreng” berita yang belum pasti. Seharusnya pemerintah membuat undang-undang yang mengatur hal tersebut. Menurut saya, kebebasan PERS itu sudah benar tetapi harus tetap diberi pengawasan. Pemerintah harus bersikap adil kepada seluruh media, tidak tebang pilih dalam memberikan hukuman.

            Semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan, itu merupakan sesuatu yang normal. Sebagai netizen yang bijak, tidak pantas menasehati seseorang di kolom komentar. Jika tetap ingin menasehati seseorang, cobalah untuk menasehatinya lewat direct message, hal itu lebih terlihat beretika. Walaupun, sangat kecil kemungkinan nasehat itu diterima bahkan untuk sekedar dibaca, apalagi yang dinasehati ialah seorang public figure. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena seseorang cenderung menerima nasehat dari orang-orang yang ia segani atau nasehat dari orang terdekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun