Mohon tunggu...
Mam-Mad
Mam-Mad Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Universalitas Kata "Merdeka"

20 Agustus 2010   07:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:52 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika orang membicarakan tentang “kemerdekaan”, apa sih sebenarnya yang ada di dalam benak mereka. Sebuah kata bisa memiliki sebuah arti yang begitu penting karena ia akan menentukan bagaimana orang akan cenderung untuk bersikap. Contoh yang paling sederhana yang mungkn sering kita dengar adalah kata “kegagalan”. Kegagalan dapat kita artikan sebagai sebuah ”usaha yang tidak berhasil secara sempurna”. Tetapi itu adalah sebuah arti dalam tataran yang normatif. Maksud saya disini adalah ada unsur-unsur pelibatan segi perasaan dan memori manusia untuk memaknai kata tersebut. Sehingga, pada akhirnya untuk sebuah kata yaitu ”kegagalan”, akan ada orang yang mengartikan bahwa ”kegagalan” adalah sebuah pertanda bahwa kita memang harus berhenti dan beralih ke hal yang baru. Namun, ada juga yang mengartikan bahwa ”kegagalan” adalahsebuah keberhasilan yang tertunda sehingga patut untuk dibenahi kembali prosesnya dari awal agar bisa berhasil. Dari sinilah, proses memaknai itu menjadi penting, sebab ketika kita memaknai sesuatu itu buruk, maka jadi buruklah sesuatu tersebut dan terjadi juga untuk yang sebaliknya.

Lantas, ketika kita bicara tentang arti “kemerdekaan”, tahukah kita tentang arti sebenarnya dari kemerdekaan tersebut. Hal ini semata-mata agar kita tidak menjadi terjebak dalam suatu arti semu yang nantinya dapat mengakibatkan kita salah mengambil tindakan.

Kemerdekaan berasal dari kata “merdeka”. “Merdeka” berarti “bebas dari belenggu”. Maka dari itu merdeka tidak sama dengan berbuat sesukanya karena sering kali kita mengacu pada kata “bebas” tadi. Inilah mungkin, yang mengakibatkan kebanyakan dari kita sering salah kaprah. Dikiranya dengan berpayungkan pada prinsip kata “merdeka”, akhirnya bisa berbuat bebas tanpa aturan. Sehingga, melanggar norma-norma yang ada. Hal yang kelewat-berlebih, dianggap sebagai sebuah ekspresi “kemerdekaan”. Inilah barangkali yang harus kita semua perbaiki. Bahwa memang akan sangat berbahaya sekali, jika sebuah kata yang sedemikian hebatnya dipelintir artinya demi kesenangan beberapa kelompok saja.

Masih ada pertanyaan yang perlu untuk kita selesakan dari kata “merdeka”, yaitu kita bebas dari belenggu apa? Jika jawabannya dari belenggu “penjajahan”, sudah barang pasti bahwa kita secara de facto telah merdeka pada tahun 1945 atau pada 65 tahun silam. Sayangnya, ada sesuatu yang bersifat universal dan kontinyu di dunia ini. Artinya bahwa ketika sesuatu itu fungsinya telah selesai, ia akan menjadi tidak relevan lagi dan fungsinya akan beralih mengikuti arus zaman, termasuk khususnya kata ”kemerdekaan”.

Ketika kita memahami arti ”kemerdekaan” hanya sebatas bebas dari belenggu ”penjajahan” saja, maka yang terjadi kemudian adalah setiap kita menyambut HUT RI, yang ada hanyalah sekedar romantisme perjuangan saja. Kenangan-kenangan masa lalu era perjuangan dibangkitkan kembali. Namun, api semangat ini kemudian akan padam lagi ketika bulan Agustus telah terlewat, karena kita tidak tahu semangat yang berkobar ini mau dibawa kemana. Era perjuangan telah lama selesai. Akhirnya, simbol-simbol perjuangan seperti pemasangan umbul-umbul, bendera di depan rumah, sayangnya hanya akan menjadi sebuah kegiatan seremonial belaka. Bahkan, lomba-lomba tujuh-belasan yang seharusnya mengingatkan kita akan semangat juang para pahlawan, salah-salah dianggap hanya sebagai ajang kompetisi untuk sekedar memperebutkan beberapa buah buku saja.

Kita harus mulai sadar, bahwa arti ”bebas dari belenggu penjajahan” adalah sebuah hal yang usang kini. Namun, bukan berarti untuk dilupakan, sebab ia telah menghasilkan begitu banyak teladan yang bisa untuk kita contoh. Seperti, Bung Karno yang tidak pernah menyerah untuk terus menyuarakan kemerdekaan meski berulang kali bolak-balik masuk tempat pengasingan. Lalu, Bung Hatta yang tidak pernah berhenti untuk terus mengabarkan kemerdekaan Indonesia ke berbagai penjuru dunia sehingga kemerdekaan kita diakui oleh masyarakat internasional. Dan, masih banyak sederet tokoh besar lainnya.

Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa Bangsa Indonesia masih belum memperoleh kemerdekaan di zaman modern ini. Masih banyak belenggu-belenggu yang menjerat begitu banyak sektor di Republik yang kita cintai ini. Misalnya, belenggu korupsi yang menggerogoti bangsa, penyebab negara menanggung kerugian ratusan trilyun dan inflasi karena tentu saja koruptor akan menghambur-hamburkan uangnya yang berakibat makin banyaknya uang yang beredar di masyarakat. Kemudian, belenggu pendidikan. Meskipun anggaran pendidikan adalah yang paling besar, buat apa jika standar sekolah tidak sama satu dengan yang lain. Hal ini tetap saja akan menimbulkan kecemburuan sosial. Dengan tidak adanya standarisasi, maka kualitas lulusan sekolah pun akan beda-beda satu sekolah dengan yang lainnya. Tetap saja, yang punya duit saja yang mendapatkan kualitas yang lebih baik. Belenggu pengangguran dan ketidak-mapanan dalam segi ekonomi, yang merupakan penyebab maraknya tindak kejahatan seperti pencurian dan pembunuhan.

Saat ini, yang juga lagi marak adalah belenggu moral dan etika. Berkat dari belenggu ini rusaklah akhlak sebagian besar dari generasi muda bangsa ini yang notabene merupakan ”penerus perjuangan bangsa”. Seks bebas, hura-hura dan kegiatan foya-foya hanya mengakibatkan generasi muda kita bermental pragmatis, maunya serba praktis. Akibatnya, jika ia besar nanti, tentu saja kemungkinan besar akan melakukan korupsi. Dan masih banyak macam belenggu lainnya, yang sebagai konsekuensinya menyebabkan Indonesia masih jauh tertinggal dengan bangsa lainnya. Bahkan, Vietnam pun mulai menyusul Indonesia. Sungguh keadaan yang menyedihkan.

Saudaraku, pada akhirnya, jika kita sudah tahu hal yang sedemikian ini, perlulah kita merasa malu terhadap mereka yang telah berjuang secara mati-matian hanya sekadar untuk memekikkan sebuah kata ”merdeka”. Ataukah, selama ini ”kemerdekaan” hanya sekedar terkunci di mulut kita saja, tanpa kita mengetahui secara gamblang artinya. Semoga bisa menjadi renungan bagi kita semua.

Tulisan ini juga bisa dilihat di

http://creativeendless.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun