Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menelisik Rancangan Peraturan Presiden tentang Kerukunan Umat Beragama: Hidup Rukun Kok Harus Repot dan Mahal?

22 September 2022   12:10 Diperbarui: 22 September 2022   12:17 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: setkab.go.id

Pada akhir 2020 lalu, Forum Kerukunan Umat Beragama melakukan Rapat Koordinasi Nasional dan mengusulkan 12 rekomendasi kepada pemerintah terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Salah satunya-yang juga cukup unik-adalah mendesak pemerintah agar menaikkan status Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama menjadi Peraturan Presiden (Perpres).

Peraturan yang sebelumnya amat teknis tersebut oleh FKUB dinilai masih kurang efektif dalam menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia. Maka dari itu, dengan naiknya status hukum PBM menjadi Perpres , mereka meyakini bahwa kerukunan umat beragama akan pula semakin terjaga dan terpelihara. Benarkah?

Tetapi, jika kita membaca 12 usulan FKUB dalam rakornas tersebut, sebagian besar hanya menyuarakan persoalan anggaran dan penguatan FKUB sebagai sebuah lembaga. PBM yang sebelumnya berisi tentang tugas dan tanggung jawab antar pemangku kebijakan di dalam menjaga kerukunan umat beragama seolah ingin direduksi menjadi tanggung jawab FKUB semata.

Naskah rancangan Perpres tentang Kerukunan Umat Beragama saat ini telah beredar dan mulai dikaji. Dan benar, seirama dengan 12 usulan FKUB di atas, hampir seluruh isi dari rancangan Perpres tersebut hanya berbicara tentang penguatan FKUB. Alih-alih berfokus pada masalah utama kerukunan umat beragama itu sendiri.

Sepertinya pertanyaan yang perlu diajukan jauh sebelum mengesahkan Rancangan Perpres itu adalah, apakah yang menjadi akar utama dari ke-tidak-rukunan antar umat beragama di Indonesia? Apakah karena Pemerintah tidak menjalankan kewajibannya? Apakah karena umat beragama tidak memahami ajarannya? Apakah karena FKUB tidak berfungsi atau justru karena persoalan yang lebih mendasar seperti tidak meratanya kesejahteraan dan pembangunan?

Kita selalu terbiasa untuk menyelesaikan masalah dengan membuat masalah yang baru. Apabila ada ke-tidak-rukunan, maka bentuklah organisasi kerukunan. Apabila ada pencurian, maka bentuklah organisasi anti pencurian. Apabila ada eksteremisme, maka bentuklah organisasi pemberantas ekstremisme. Tetapi kita tidak pernah berpikir bahwa bisa saja terpeliharanya sebuah masalah adalah mungkin karena ikut dipelihara oleh organisasi-organisasi tersebut. Bagaimana jika kerukunan tidak tercipta, lalu organisasi pemelihara kerukunan juga tak bekerja? Apakah kita akan membentuk lagi organisasi pengawas pemelihara kerukunan?

Mengharapkan sebuah kerukunan umat beragama tercipta melalui kerja-kerja yang serba mekanis dan elitis laksana melukis di atas air. Kerukunan adalah sebuah proses organik yang hidup di akar rumput. Proses penciptaannya tidak melalui forum-forum besar apalagi melalui sebuah regulasi, tetapi melalui hal-hal sederhana seperti berbagi bekal yang dilakukan petani-petani Kristen dan Islam di Toraja ketika bekerja di sawah atau di tempat-tempat lainnya.

Jika ditelisik lebih jauh, hampir sebagian besar isi naskah Rancangan Perpres tersebut tentang hak dan wewenang FKUB dalam menjaga kerukunan umat beragama. Peran pemerintah hampir tidak ada sama sekali. Hal tersebut bersifat kontradiktif dengan nuansa semangat pembentukan Perpres tersebut yang sebelumnya berasal dari PBM terkait kerjasama antar pemangku kebijakan dalam menjaga kerukunan umat beragama.

Apakah yang ingin diperkuat adalah kerukunan umat beragama atau justru lembaga yang bertugas menjaga kerukunan umat beragama adalah pertanyaan sentral jika ingin membaca naskah rancangan Perpres tersebut. Rancangan Perpres itu memberikan FKUB porsi yang amat banyak, mulai dari wewenang yang diperkuat hingga kucuran anggaran yang disediakan-yang ujung-ujungnya membebani rakyat, tetapi tidak satupun disebutkan bagaimana mekanisme advokasi FKUB dalam rangka memelihara dan menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia.

Bukan dalam artian saya menyandarkan harapan terpeliharanya kerukunan umat beragama kepada FKUB, tetapi dengan melihat rancangan Perpres tersebut saya berkesimpulan jika semangat rancangan Perpres itu hanya berorientasi pada penguatan kelembagaan FKUB bukan kepada penguatan pemeliharaan kerukunan umat beragama itu sendiri. Bukankah tanggung jawab memelihara kerukunan itu ada pada pundak kita semua? Mengapa kita menyandarkannya pada sebuah entitas yang berada di luar diri kita?

Sampai di titik ini saya masih yakin bahwa kerukunan umat beragama dalam porsi tertentu memang perlu mendapat "uluran" tangan dari pemerintah. Tetapi sifatnya bukan mengintervensi, melainkan memfasilitasi. Kerja-kerja pemberdayaan dan distribusi kesejahteraan di akar rumput adalah ujung tombak dari pemeliharaan kerukunan umat beragama. Dan itu adalah tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun