Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Soesilo Toer, Pisang Susu, dan Rayap Buku

1 Agustus 2022   19:35 Diperbarui: 2 Agustus 2022   15:48 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Musim kemarau telah merambat ke kota Yogyakarta dengan segala praharanya. Ketika itu sekitar pukul 11.00 pagi, di saat matahari sedang perlahan meninggi, nada dering ponsel saya berbunyi dan memunculkan notifikasi. 

Ah, itu si Vina yang mengabari kalau dirinya ingin dijemput di Stasiun Tugu Yogyakarta. Ia baru tiba dari Surakarta, katanya habis menjenguk adiknya di sana.

Saya memandang langit, matahari sedang tinggi-tingginya. Naluri saya sebagai anak rumahan tentu bergejolak. 

Apalagi Yogyakarta adalah kota yang juga tak bisa lari dari dampak kenaikan suhu bumi. Tetapi, rasa malas itu segera saya tepis karena saya segera mengingat kalau amukan Vina konon lebih mengerikan dibanding panasnya Yogyakarta.

Vina ini adalah teman dari teman saya, yaitu Agus. Saya ditugasi oleh Agus untuk menjemputnya karena Agus ketika itu sedang berada di luar kota. Iya, benar, saya menjemput seseorang yang saya sendiri belum mengenalnya. 

Makanya saya takut. Ya sudah, berangkatlah saya menuju stasiun.

Singkat cerita, saya tiba di stasiun dan mendapati sesosok wanita berbaju putih sedang duduk di depan Hotel Malioboro. Saya menyapanya dan benar dia orangnya.

"Jadi kuantar ke LKiS ya mbak? Iya mas, kesana aja dulu."

Berangkatlah kami berdua. Sepanjang jalan biasa saja, tentu kami bercakap-cakap sambil berkenalan, hingga kami berhenti di perempatan lampu merah menuju ke arah Tugu. 

Ada sesosok nenek berkebaya merah, bersarung batik coklat dan menggunakan penutup kepala berwarna hitam sedang berjualan pisang di pinggir jalan.

Awalnya saya hanya melihat sekilas dan tak tertarik sama sekali. Tetapi, ketika nenek itu melihat ke arah saya, sontak saya merogoh kantong mencari uang dengan maksud membeli dagangan nenek tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun