Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rendang, Produk Budaya atau Agama?

29 Juni 2022   08:32 Diperbarui: 7 Juli 2022   16:01 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Kompas.com

Artikel ini telah tayang di Islami.co dengan judul yang sama.

Baru baru ini jagad dunia maya diramaikan oleh berita terkait pengecaman sebuah restoran Padang di Jakarta yang menyediakan salah satu menu yang terbuat dari daging babi. Rendang yang biasanya terbuat dari daging sapi, oleh si pemilik restoran tersebut diganti menjadi daging babi. Rendang sendiri secara makna sering disalah pahami.

Menurut sejarawan kuliner Fadly Rahman dalam majalah online BBC berjudul Nasi Padang: Sejarah, kalori, dan semua hal yang perlu Anda ketahui (baca : majalah) orang-orang Minang memandang rendang sebagai teknik mengawetkan makanan yang tidak cuma daging tapi bisa juga ikan, telur, tempe, tahu, dan sebagainya. Jadi pada dasarnya rendang tidak selalu identik dengan daging.

Berkat inovasi yang berusaha dilakukan pemilik restoran tersebut, beragam kecaman lahir dari berbagai pihak. Mulai dari petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat ikut menyuarakan agar restoran tersebut ditutup dan pemiliknya harus dibawa ke proses hukum. Karena desakan yang begitu tinggi, kepolisian pun memanggil pelaku dan belakangan kebingungan dalam menentukan delik perkaranya.

Belakangan yang agak lucu sekaligus aneh, pasca keributan tersebut Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa turun langsung mengecek beberapa restoran Padang yang ada di Surabaya dan menghimbau agar setiap pengusaha restoran Padang memasang logo halal di depan masing-masing restoran mereka.

Lalu, mengapa polemik ini mampu menimbulkan kegaduhan yang luar biasa? Sampai membuat berbagai pihak keteteran dan bersifat reaksioner dalam meresponnya. Dibanding kuliner lain, babi seringkali menjadi lading empuk keributan. Untuk memulai diskusi tersebut, sepertinya menarik untuk terlebih dahulu mendekatinya dari perspektif kebudayaan.

Kuliner sebagai Produk Kebudayaan

Kuliner/Makanan adalah salah satu kebutuhan primer manusia yang paling primitif. Sumber-sumber makanan tersedia di alam dan manusia sudah tentu mengambilnya dari sana. Dalam proses memperoleh makanan, baik dari segi teknik produksi, distribusi hingga konsumsi manusia pada awalnya menggunakan berbagai cara. Dari berbagai cara itulah manusia menemukan metode yang paling tepat sesuai dengan kondisi ekologis serta sosiologisnya.

Mengutip pendapat Abdurrahman Wahid dalam buku Pergulatan, Negara, Agama dan Kebudayaan, Kebudayaan dimaknai sebagai tata laku yang lahir akibat interaksi terus menerus antar individu dengan individu, antar individu dengan alam, secara sukarela di dalam kehidupan sehari-hari. Maka, metode yang digunakan manusia dalam menghasilkan makanan juga menjadi bagian dari bangunan besar bernama kebudayaan.

Maka tepat apa yang dikatakan Marvin Harris dalam buku Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir bahwa babi haram bagi umat Islam dan Yahudi dikarenakan dua agama tersebut lahir dari wilayah yang secara kondisi ekologis dan sosiologisnya memiliki kemiripan. Jadi tak usah kaget jika tradisi agama ataupun kebudayaan yang lain justru menjadikan babi sebagai makanan favorit. Kembali kepada premis awal tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun