Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Makanan Punya Agama?

28 Juni 2022   22:18 Diperbarui: 28 Juni 2022   22:35 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel ini telah tayang di Islami.co dengan judul yang sama.

Meminjam istilah Abdurrahman Wahid, hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Di dalam mengangungkan Tuhan dan mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia denganNya, agama-agama kerap menggunakan kebudayaan secara massif. 

Dapat kita lihat dalam ikon-ikon seperti patung, lukisan, atau prosesi-prosesi bersejarah seorang wakil Tuhan yang diutus ke bumi. Tetapi untuk persoalan makanan nampaknya kasus tersebut jarang terjadi.

Perihal keharaman suatu zat dalam perspektif Islam, seperti babi, adalah mutlak. Tetapi perihal apakah ada suatu makanan yang menjadi milik (hak prerogatif) agama tertentu sepertinya tak ada referensi mengenai hal tersebut. Poinnya adalah di manakah batas demarkasi yang jelas antara agama dan budaya? Tak ada bedanya dengan pertanyaan apakah gamis hanya milik Islam dan koko hanya milik Tionghoa?

Dalam artikel sebelumnya, sudah diuraikan bahwa makanan-dengan beragam jenis bentuknya adalah hasil dari olah kebudayaan. Tetapi bisakah suatu kebudayaan mempakemkan hal tersebut? Lalu menggunakan agama sebagai legitimasi? 

Saya kira hal tersebut masih memiliki ruang untuk diperdebatkan. Saya jadi teringat sebuah kasus yang hampir sama beberapa tahun lalu ketika ada beberapa youtuber yang membuat video memasak daging babi bersama kurma. Apakah kurma memiliki agama?

Para pengambil kebijakan di negara ini seringkali berada di dalam situasi yang begitu plin plan. Terutama ketika hal-hal tersebut bersentuhan dengan isu SARA. Fatalnya, lumrah kita melihat bagaimana ormas seringkali menyetir (menekan) kebijakan negara menggunakan berbagai jubah mitologi. Respon MUI di atas sudah sangat mewakili yang saya maksudkan.

Gimmick politik yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur yang menghimbau agar restoran-restoran padang diberi label halal adalah sebuah kerancuan berpikir yang semestinya tidak dilakukan seorang gubernur.

Istilah halal sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti "memperbolehkan". Secara sederhana, makanan halal berarti makanan yang bukan haram atau tidak diperbolehkan. Lalu perihal makanan haram, setidaknya terdapat empat kategori umum yang dijadikan patokan. 

Pertama adalah bangkai, kecuali ikan dan belalang, kedua adalah darah, ketiga adalah daging babi, dan keempat adalah makanan yang disembelih dengan tidak menyebut asma Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun