Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menguji Makna Simbol Kedaulatan Negara dalam Undang-Undang Mata Uang: Analisis Kasus Perobekan Uang oleh Nelayan Kodingareng

13 Juni 2022   16:05 Diperbarui: 13 Juni 2022   16:12 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fakta Kasus

Pada tanggal 16 Juli 2020, warga Pulau Kodingareng menggelar musyawarah di samping Baruga milik Dinas Kelautan dan Perikanan yang berada di Pulau Kodingareng. Dalam musyawarah tersebut dibahas terkait sikap masyarakat dalam merespon kehadiran kapal Queen of The Netherlands milik PT. Royal Boskalis yang kembali melakukan penambangan pasir laut di perairan Kepulauan Sangkarrang setelah sebelumnya berhenti selama hampir seminggu akibat aksi penghadangan yang dilakukan oleh para nelayan. Ditengah-tengah musyawarah sedang berlangsung, masyarakat menanyakan kepada pimpinan musyawarah terkait sejumlah uang yang sebelumnya telah diterima oleh lima orang nelayan dari perusahaan dalam hal ini PT. Banteng Laut Indonesia pada tanggal 14 Juli 2020. Berikut kronologi singkatnya:

"Pada tanggal 14 Juli 2020, sekitar pukul 07.30 WITA perwakilan PT. Banteng Laut Indonesia[1] bersama beberapa staf dan aparat Polairud Polda Makassar dengan menumpangi sekoci, tiba di Pulau Kodingareng. Sebelumnya dikabarkan bahwa beberapa warga Pulau Kodingareng telah melakukan pertemuan secara tertutup dengan pihak perusahaan untuk membahas pergeseran lokasi pertambangan dengan alasan semakin massifnya penolakan nelayan terhadap aktivitas pertambangan yang berada tepat di lokasi tangkap nelayan tradisional. Hasil dari pertemuan tersebut adalah para pihak bersepakat untuk meninjau lokasi baru yang akan menjadi tempat dari PT. Royal Boskalis kembali melakukan penambangan. Kehadiran rombongan dari pihak perusahaan tersebut adalah untuk memanggil para nelayan Pulau Kodingareng ikut bersama melakukan peninjauan lokasi penambangan yang baru. Terhitung lima orang warga Pulau Kodingareng ikut dalam rombongan tersebut. Berdasarkan penuturan Suadi salah satu warga yang ikut dalam rombongan, ditengah perjalanan mereka melakukan perbincangan seputar aturan-aturan yang memayungi aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. Royal Boskalis. Masih berdasarkan penuturan Suadi, ditengah perjalanan menuju lokasi baru yang mereka rencanakan tiba-tiba sekoci yang mereka tumpangi kehabisan bahan bakar. Dan tempat sekoci tersebut kehabisan bensin masih sangat dekat dengan lokasi penambangan sebelumnya. Akhirnya pihak perusahaan memutuskan untuk berhenti melanjutkan perjalanan tanpa alasan yang jelas dan segera mencari bantuan dari para nelayan yang sedang memancing di lokasi tersebut untuk dibeli bahan bakarnya. Setelah bahan bakar terisi mereka melanjutkan perjalanan pulang. Ketika sampai di dermaga Pulau kodingareng, pihak perusahaan memberikan sejumlah amplop kepada lima warga kodingareng yang telah ikut dalam perjalanan tersebut dengan maksud "ongkos jalan" karena telah diambil waktu untuk meninggalkan pekerjaannya."

Dalam musyawarah tersebut dipanggillah Suadi sebagai salah satu warga yang telah menerima amplop dari perusahaan. Di depan masyarakat Suadi menyatakan bahwa dirinya tidak pernah membuka amplop tersebut sama sekali. Disaat itu juga Suadi menunjukkan kepada masyarakat sebuah amplop yang masih tersegel rapi dan mengatakan bahwa itulah amplop pemberian dari perusahaan.

Karena telah menimbulkan kegaduhan, Suadi segera meletakkan amplop tersebut ke tanah. Kegaduhan belum juga berhenti, diiringi teriakan dari warga agar siapapun merobek amplop tersebut. Setelah itu datanglah seorang warga bernama Manre' mengambil amplop tersebut dan segera merobeknya, seketika juga kegaduhan di masyarakat segera reda. 

Kehadiran amplop tersebut dinilai oleh masyarakat sebagai suatu upaya penyogokan oleh pihak perusahaan agar memuluskan aktivitas mereka di wilayah tangkap nelayan. Terkait persepsi masyarakat benar atau salahnya itu merupakan persoalan lain. Sensitivitas yang tinggi dan situasi yang kian memanas di Pulau Kodingareng merupakan suatu fenomena yang erat berkaitan dengan penolakan masyarakat terhadap aktivitas tambang pasir laut yang dilakukan oleh PT. Royal Boskalis di wilayah tangkap nelayan. 

Segala bantuan dan pemberian apapun dari pihak perusahaan akan dinilai negatif oleh masyarakat. Hal ini merupakan sebuah resistensi kolektif dari seluruh lapisan masyarakat terhadap apapun yang ada hubungannya dengan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan tambang pasir laut, dalam hal ini PT. Banteng Laut Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh Manre dalam hal ini merobek amplop pemberian perusahaan adalah titik kulminasi dari resistensi tersebut.

Tiga hari berselang sejak peristiwa perobekan amplop itu terjadi, pada tanggal 19 Juli 2020 Surat panggilan dari Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan perihal pemanggilan Manre sebagai SAKSI dalam perkara tersebut terbit. Berselang beberapa minggu setelah menjalani pemeriksaan, tanggal 12 Agustus terbit kembali surat pemanggilan Manre' dan status SAKSI berubah menjadi TERSANGKA. Pasal yang dikenakan Manre' dalam kasus ini adalah Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang), dengan bunyi "Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Mari kita uraikan unsur dalam kasus ini satu persatu.

Mata Uang Sebagai Simbol Negara

Berdasarkan pendeknya bacaan penulis, frasa "Mata uang sebagai simbol negara" atau "Mata uang sebagai simbol kedaulatan negara" hanya penulis dapati dalam UU Mata Uang. Setidaknya jika pembaca yang budiman menelisik semua pasal yang berjumlah 48 dalam UU Mata Uang ditambah tiga lembar Bab Penjelasan, frasa "Mata Uang sebagai simbol kedaulatan negara" disebutkan sebanyak dua kali sedang frasa "Mata Uang sebagai simbol negara" juga disebutkan sebanyak dua kali. Terjadi inkonsistensi penggunaan frasa dalam UU ini. Jika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Simbol disamakan dengan Lambang, maka absurditas dari frasa diatas mulai nampak. Apakah hal tersebut berakibat fatal terhadap kasus Manre'?

Jika mencari dasar konstitusi terkait Mata Uang sebagai simbol kedaulatan negara ataupun sebagai simbol negara maka di UUD NRI 1945 pun tak ada jawabannya. Di Pasal 23B dan Pasal 23C UUD NRI 1945 hanya membahas terkait "Macam dan harga mata uang" dan "Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang", tidak ada sama sekali penyebutan bahwa Mata Uang adalah simbol kedaulatan negara atau simbol negara dalam konstitusi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun