Mohon tunggu...
Rob Roy
Rob Roy Mohon Tunggu... profesional -

Dharma Eva Hato Hanti

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Aneka Selera Kompasiana

14 Januari 2016   21:12 Diperbarui: 14 Januari 2016   22:02 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.kaskus.co.id

Kata ‘selera’ menurut KBBI ada 3 arti. Nafsu makan, nafsu atau keinginan (untuk berbuat sesuatu), dan kesukaan atau kegemaran.

Sosiolog Perancis Pierre Bourdieu ( 1930-2002) menjelaskan tentang selera yang berbasis kelas (strata). Selera, ujar Bourdieu, dipengaruhi oleh seberapa besar kapital ekonomi, budaya, sosial dan simbolik yang dimiliki seseorang, dan bagaimana komposisi keempat kapital tersebut. Seseorang yang hanya memiliki sedikit kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial dan kapital simbolik, kelas pekerja misalnya, memiliki selera yang berbeda dengan seseorang yang memiliki lebih banyak kapital dengan komposisi yang lengkap (kelas pemilik modal). Kapital budaya adalah pendidikan, kecerdasan, cara berbicara, gaya berpakaian, penampilan fisik. Kapital sosial adalah jaringan, teman, kolega, klub. Sedangkan kapital simbolik adalah lukisan, gelar, titel, medali, penghargaan. Selera juga dipengaruhi oleh field atau arena sosial. Arena sosial adalah latar atau setting di mana posisi sosial seseorang berada.

Selera dibentuk nyaris di luar kontrol individu, bergerak di bawah level kesadaran dan bahasa melalui relasi antara habitus, kapital, dan field. Habitus, di satu sisi, urai Bourdieu, merupakan struktur pembentuk tindakan, yang menentukan pilihan selera. Di sisi lain, habitus juga merupakan struktur yang dibentuk oleh pilihan selera seseorang. Dengan kata lain, perbedaan habitus membedakan selera dan sekaligus menguatkan selera.

Kompasiana

Merujuk uraian di atas, maka dapat dipahami sekarang bahwa antara selera admin, kompasianer (penulis) dan pembaca (pemberi komentar/ komentator) bisa berbeda. Perbedaan ini sangat berkorelasi dengan kapasitas dan intensitas relasi antara habitus, kapital dan field yang dimiliki masing-masing. Jadi jangan heran jika ada yang mengatakan artikel ‘seperti itu’ kok bisa HL. Atau artikel bukan HL ‘ala begitu’ kok bisa-bisanya mendulang ratusan bahkan ribuan komen. Menurut hemat saya, hal begitu sah-sah saja karena tidak mungkin menyamaratakan selera para pihak yang terlibat di Kompasiana. Sebaliknya, terhadap beberapa tulisan, bisa pula selera tersebut sama sebangun. Lantas bagaimana menjelaskan adanya perbedaan antara para komentator, yang terkadang tajam berbeda dengan segala ungkapannya? Bourdieu memilih memakai istilah class fraction, untuk menjelaskan bagaimana kelas-kelas di dalam masyarakat, bahkan dalam satu kelas sosial yang sama, saling bermanuver dalam arena sosial untuk saling menguasai. Jika kompasiana boleh dikategorikan sebagai sebuah arena sosial, maka kiranya dapat dipahami penjelasan kalimat di atas.

Kesimpulan yang bisa ditarik adalah biarlah selera yang berwarna itu tetap hadir di sini. Inilah kekayaan realitas yang imajiner. Ringkasnya, pilihan realitas imajiner, yang bertebaran di sini dapat dipastikan berdasarkan kesenangan, kepuasan, pemenuhan, dan kegunaan yang semuanya bisa dianggap sebagai sumber dari motivasi, entah untuk menulis buah pikiran, membuang hajat komentar, atau bahkan sekedar menumpah-ruahkan isi perut.

“Stimulus dan selera adalah faktor yang sangat berpengaruh pada pemikiran seseorang. Belajar tanpa selera tidak akan berhasil. Tanpa fighting spirit, maka kita bukan apa-apa. (Soe Hok Gie)

blogs.swa-jkt.com

De gustibus non est disputandum
Tidak ada yang patut diperdebatkan menyangkut selera

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun