Teknologi mendorong tumbuhnya rasa saling percaya antar orang, bahkan kepada orang yang tidak dikenal sekalipun. Kita merasa nyaman menumpang kendaraan orang asing melalui Uber, bepergian dan tinggal di penginapan asing melalui Traveloka, pesan makanan dari restoran apapun melalui GoFood, dan lain-lain. Namun seiring dengan antusiasme yang meningkat untuk saling percaya satu sama lain, pada saat yang sama terjadi penurunan kepercayaan kepada institusi, dari media, bank, hingga ke pemerintah. Apa yang terjadi dengan teknologi yang omnipresence ini dan bagaimana kita bisa menghindari distopia di masa depan?
SIAPA YANG ANDA PERCAYA
Kita harus memahami bagaimana kepercayaan di era digital benar-benar bekerja. Kepercayaan telah beralih dari institusi ke individu. Kita sudah melihat konsekuensi mendalam dari pergeseran kepercayaan ini seperti ditunjukkan dalam kontestasi Pilpres, Pilgub/ Pilkada hingga algoritma.
Kepercayaan itu seperti energi yang tidak akan musnah, tetapi telah berubah bentuk. Setiap orang membutuhkan kepercayaan di masyarakat agar bisa berkelompok, berkolaborasi, bertransaksi bahkan meninggalkan rumah. Sebuah masyarakat tidak bisa bertahan dan pasti tidak bisa berkembang tanpa kepercayaan. Untuk waktu yang lama dalam sejarah, kepercayaan telah mengalir ke atas menuju ke para pakar, akademisi, ekonom, birokrat, regulator, dan lain-lain. Sekarang berubah arah, mengalir menyamping, antar individu, sejawat, teman sebaya dan bahkan orang asing. Namun tetap saja bahwa kita bisa terlalu percaya kepada orang yang salah dalam perkara yang salah. Singkatnya, kita bisa membangun kepercayaan dengan sangat mudah.
Saat ini kita mengalami kekosongan kepercayaan yang muncul saat kepercayaan diri kita terhadap fakta dan kebenaran terus dipermasalahkan. Kekosongan kepercayaan dibuat, dan itu berbahaya. Keadaan vakum itu diisi oleh orang-orang dengan agendanya seperti mahir menjual diri mereka sebagai anti-penindasan pro kebhinekaan, dan menceritakan apa pun yang diputar-putar pada kepekaan anti-elitis yang saat ini dirasakan oleh banyak orang.Â
Munculnya 'anti-politisi' adalah indikator pergeseran kepercayaan terbesar dan telah kita lihat dalam satu generasi ini dan sedang berlangsung. Dalam ruang hampa, kita menjadi lebih rentan terhadap teori konspirasi, rentan terhadap perbedaan yang tahu bagaimana berbicara dengan perasaan di atas fakta, rentan dengan bentuk transparansi baru yang memabukkan ini.
Mereka kebingungan karena kandidat yang paling berkualitas lenyap (dalam sebuah pemilihan) menghadapi ketidakpercayaan terhadap elit, pembalikan pengaruh dan skeptisisme yang meningkat tentang segala hal - mulai dari keabsahan berita sampai kecurigaan yang mendalam mengenai sistem politik dan ketata-negaraan. Kita akhirnya mulai berpikir untuk mencoba memahami distopia yang sedang kita jalani.
APA YANG TERJADI
Kita pernah mengalami terjadinya pelanggaran kepercayaan yang besar di masa lalu, seperti kasus BLBI, Centuri-gate dan yang aktual saat ini, e-KTP. Sedikitnya ada dua hal yang bisa menjelaskan. Kesatu, ada penurunan kepercayaan historis kepada semua institusi baik eksekutif, legislatif maupun judikatif. Ini menjadi sistemik sehingga orang kehilangan kepercayaan terhadap pembangunan dan terhadap elit. Hal itu menjadi seperti virus yang menyebar dengan cepat.
Hal kedua adalah bahwa teknologi menguatkan kegundahan kita, dan seringkali tanpa dasar. Media sosial "menyebarkan" informasi yang keliru sehingga membuat kebakaran "hutan digital" yang menyebarkan kebencian dan kecemasan. Seperti fenomena Saracen yang menggambarkan seberapa cepat satu narasi mampu menjadi letupan sosial dan kemudian berperan dalam gerakan berjilid-jilid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa kepercayaan dapat didefinisikan sebagai hubungan saling percaya dengan sesuatu yang tidak diketahui. Kita tahu sekarang bahwa kepercayaan telah beralih dari institusi ke individu. Individu itu mungkin manusia, atau mungkin bot yang cerdas secara artifisial.