Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tindakan Nyata Bagi Sesama: Om Telolet Om, Om Natal Om

25 Desember 2016   03:51 Diperbarui: 25 Desember 2016   04:44 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sangat menarik mencermati sisi lain dari fenomena “Om Telolet Om” yang makin menjadi trending topic dunia setelah dibicarakan selebritas dunia beberapa hari terakhir pada sebuah situs jejaring sosial—walaupun sebenarnya video dari fenomena tersebut sudah ada pada sebuah situs web berbagi video sejak beberapa bulan yang lalu. Dari berita-berita yang ada, fenomena “Om Telolet Om” berawal dari permintaan anak-anak di tepian jalan kepada Om sopir bus dengan berteriak (hingga berkembang dengan menggunakan media tulisan) “Om Telolet Om” saat sebuah bus sedang melaju, yang kemudian direspons oleh Om sopir dengan klakson yang berbunyi “telolet.”

Sisi lain yang menarik untuk dicermati itu terlelak di sini: Om sopir bus kok mau repot-repot amat mengikuti permintaan anak-anak untuk membunyikan klakson sih? Bahkan kabarnya Om-Om sopir tersebut sampai ada yang harus merogoh kocek sendiri (minimal sebesar Rp 3 juta) untuk memasang klakson tambahan yang terpisah dari klakson utama, hanya demi untuk menghasilkan bunyi “telolet” yang menarik dari bus yang dikemudikannya.

Pemikiran sederhana yang dapat kita miliki tentang alasan si Om sopir itu, mungkin si Om sopir coba memanipulasi bunyi klakson yang orisinal, yang pada umumnya selama ini bila dibunyikan berkali-kali di jalanan seolah-olah sedang mengintimidasi pengguna jalan yang lain: ”Woiii, minggir, aku mau lewat.” Tentu bunyi klakson yang orisinal itu akan sangat mengganggu dan membuat resah pengguna jalan yang lain: “Seenaknya saja si sopir ini, main klakson melulu, emang dia pikir jalanan punya nenek moyang dia sendiri aja?” Berbeda halnya saat Om sopir menggunakan bunyi klakson yang menarik hasil dari modifikasi, mungkin tidak akan membuat resah pengguna jalan yang lain, justru akan menghibur dan dengan senang hati memberikan jalan untuk si Om sopir.

Sementara itu pemikiran lebih jauh yang dapat kita miliki, bisa saja si Om sopir memang secara khusus menyediakan klakson modifikasi yang terpisah dari klakson utama, hanya untuk memberikan hiburan bagi anak-anak yang berada di tepian jalan yang dilalui oleh bus yang dikemudikannya. Mengingat dalam keadaan normal tanpa bunyi-bunyian yang dihasilkan dari suara klakson saja, anak-anak sudah sangat senang saat melihat bus yang melewati daerahnya. Terlebih bila musim liburan sekolah telah tiba, salah satu hiburan bagi anak-anak yaitu menyaksikan bus yang berlalu-lalang. Siapa pun yang pernah menjadi penumpang bus, dan menaruh perhatian terhadap hal ini pasti akan memahaminya, terutama pada daerah-daerah yang jarang dilalui bus, terkadang ekspresi yang timbul dari mereka hingga melambai-lambaikan tangan: “Daaaaaah.”

Terlepas dari itu semua, pada intinya Om sopir mau repot-repot mengikuti permintaan anak-anak untuk membunyikan klakson, karena Om sopir peduli terhadap sesamanya, sesamanya yang sama-sama manusia yang memiliki kebutuhan emosional yang perlu untuk dipenuhi. Hanya dengan memencet tombol klakson modifikasi yang menghasilkan bunyi “telolet”, tanpa disadari kebutuhan emosional sesamanya yang masih berusia anak-anak dapat terpenuhi, liburan yang menyedihkan pun (mungkin secara ekstrim dapat menyisakan trauma, yang dapat berakibat negatif saat dewasa) tak kan pernah ada, karena hiburan sederhana yang sangat membantu sesamanya telah diberikan oleh Om sopir —sementara banyak anak tak ada yang membantu untuk mendapatkan hiburan yang layak, hingga harus terbelenggu selama berjam-jam menggunakan gadget-nya (bermain game, dll.), bila sudah demikian bukannya terhibur, justru kebutuhan emosionalnya akan terkubur.

Om sopir telah melakukan tindakan nyata bagi sesama, dan Natal pun berbicara tentang tindakan nyata bagi sesama. Apabila “Om Telolet Om” menunjuk pada sebuah komunikasi antara anak-anak di tepian jalan dengan Om sopir, hingga karena begitu besar kepedulian Om sopir pada anak-anak, maka diberikanlah “Telolet” itu. Dengan menggunakan ungkapan yang serupa: “Om Natal Om”, ungkapan ini pun menunjuk pada sebuah komunikasi Ilahi antara Sang Pencipta dengan Sang Bayi, hingga karena begitu besar kepeduliaan Sang Pencipta pada ciptaan-Nya, maka diberikanlah “Natal” (kelahiran) itu.

Natal bukanlah berbicara tentang atribut keagamaan, melainkan berbicara tentang kelahiran Sang Bayi yang melakukan tindakan nyata bagi sesamanya—sesamanya manusia yang sama-sama terlahir dari rahim seorang perempuan, sama-sama memiliki pikiran dan perasaan, sama-sama dapat merasakan lapar dan kenyang, sama-sama dapat merasakan sakit dan sehat—sebuah tindakan nyata yang puncaknya berada pada salib yang berdarah-darah.

Sang Bayi telah memberikan teladan agung-Nya, sebuah teladan untuk melakukan tindakan nyata bagi sesama. Pertanyaannya kini, sudahkah kita melakukan tindakan nyata bagi sesama kita? Tindakan nyata bagi sesama tidaklah harus sebuah tindakan yang mencolok mata (spektakuler), melalui sebuah tindakan yang sederhana (menghadirkan telolet) pun dapat menghasilkan dampak yang luar biasa. “Om Telolet Om” dan “Om Natal Om” telah mengantarkan kita pada suatu perenungan: “Om Bertindak Nyata Om”. Mari bersama melakukan sebuah tindakan nyata yang mendatangkan kebaikan bagi sesama, tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang ada. Selamat Natal.

Surabaya, 25 Desember 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun