Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menanamkan Nilai-nilai Olahraga yang Lebih Mulia dari Nilai Agama

16 Maret 2019   10:51 Diperbarui: 16 Maret 2019   11:29 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi Pengambilan Foto: Lapangan THOR, Kota Surabaya (Minggu, 20 Mei 2018) - dokpri

Tak diketahui secara pasti dari mana pangkal permulaan timbulnya isu intoleransi dan kekerasan yang makin mengkhawatirkan di negeri yang memiliki tingkat keragaman tertinggi (agama, kepercayaan, suku, budaya, dll.) di antara bangsa lain yang ada di muka bumi ini. Keadaan yang sebelumnya tampak indah dengan adanya keragaman, hendak dipaksakan seturut ambisi pribadi dan golongan menjadi sebuah keseragaman.

Kala berbeda tata busana keagamaan, sudah saling mengata-ngatai satu sama lain. Tentu akan lebih parah keadaannya saat berbeda tafsir dan praktik keagamaan, saling serang dan saling bakar pun tak terelakan, minimal akan lekas saling hujat dengan tuduhan kafir, sesat dan murtad bagi sesamanya dari mulut yang (katanya) selalu digunakan untuk melafalkan lafal-lafal pengagungan bagi Sang Agung.

Dari sudut pandang kami (saya dan istri) yang bergulat dengan dunia pendidikan, pangkal permulaan terjadinya semua ini bisa jadi karena kurang tepatnya desain kurikulum pendidikan agama yang ada pada lembaga pendidikan formal yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Kurikulum pendidikan agama selama ini dirancang sebagai sistem keyakinan, kecenderungan pengajaran yang disajikan berisikan dogma sesuai dengan keyakinan masing-masing yang tidak boleh dibantah dan diragukan pokok ajarannya. Desain kurikulum yang dirancang sebagai sistem keyakinan semacam demikian, sesungguhnya telah mengabaikan adanya fakta sosial bahwa sang subjek didik hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Desain kurikulum pendidikan agama yang tepat sebaiknya dirancang sebagai sistem pengetahuan, sang subjek didik tidak melulu dicekoki dengan dogma keyakinannya, melainkan mengajarkan agama sebagai sistem pengetahuan seperti ilmu sosial, di dalam pembelajarannya terdapat ajaran tentang nilai-nilai dari keyakinan lain sebagai khazanah yang luhur, ajaran tentang etika, ajaran tentang pesan-pesan kebaikan di balik sebuah peristiwa, ajaran tentang tokoh-tokoh dari berbagai keyakinan yang ada, dan sebagainya.

Efektivitas dari desain kurikulum yang dirancang sebagai sistem pengetahuan, salah satu indikator pencapaian kompetensinya berbicara tentang sang subjek didik yang tidak terjebak ke dalam fanatisme sempit, hingga sang subjek didik dapat memiliki kecakapan (toleransi yang tinggi, dsb.) hidup berdampingan di tengah-tengah keragaman dari sebuah bangsa yang besar.

Lantas untuk mengajarkan agama sebagai sistem keyakinan, tempatnya berada di rumah ibadah yang bisa diakomodir melalui lembaga-lembaga pendidikan nonformal jenis keagamaan yang memberikan pengajaran bagi anak-anak sejak usia dini. 

Selain itu, mengajarkannya di rumah pribadi yang diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Namun, mengajarkannya pun tetap dengan catatan-catatan penting. Mengajarkan agama sebagai sistem keyakinan tidak dengan berlumuran narasi-narasi kebencian, tidak pula dengan bergelimang indoktrinasi yang menyebabkan nalar menjadi sempit.

Apabila dengan mengajarkan agama sebagai sistem keyakinan hanya akan mencetak sang subjek didik menjadi generasi yang dirasuki oleh kebencian dan miskin kemampuan berpikir kritis, maka kami pribadi sebagai orang tua akan lebih memilih untuk menjauhkan buah hati kami dari rumah ibadah dan membuang nilai-nilai agama dari dalam rumah pribadi, kami hanya akan menanamkan nilai-nilai olahraga kepada buah hati kami.

Tidak ada sekat di dalam dunia olahraga, isu intoleransi akan kesulitan membuat ruang keragaman menjadi berpetak-petak, karena keragaman mendapatkan tempat yang terbaik di sini. Dalam dunia olahraga terdapat nilai-nilai yang lebih mulia dari sekadar nilai-nilai agama yang diyakini dengan picik, dari sekian banyak nilai-nilai yang mulia di dalam olahraga, ada beberapa nilai-nilai yang melaluinya keragaman dapat dikelola baik.

Nilai-nilai tersebut antara lain (sumber: United Nation, 2003): cooperation (kecakapan bekerja sama), communication (kecakapan dalam berkomunikasi), respect for the rules (sikap menghormati hukum atau aturan-aturan), problem-solving (kecakapan dalam memecahkan masalah), understanding (kecakapan pemahaman seperti memahami orang lain), connection with others (kecakapan berhubungan dengan orang lain), respect for others (menghargai orang lain), tolerance (membangun sikap toleransi), resillience (membangun daya beradaptasi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun