Mohon tunggu...
Fransiska Rosilawati
Fransiska Rosilawati Mohon Tunggu... -

Pekerja Pranata Humas

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Berkomunikasi di Media Sosial, Bisa Mengundang Proses Hukum

30 Juli 2017   07:27 Diperbarui: 30 Juli 2017   08:59 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Berkomunikasi dalam artian berinteraksi online melalui media sosial (Facebook, Instagram, Path, Twitter, Whatsapp, dan sejenisnya) jangan asal-asalan. Salah-salah jika ada pihak yang tidak berkenan atas informasi yang disampaikan di ruang publik virtual tersebut bisa berbuntut panjang.

Sebebas-bebasnya setiap pengguna media sosial untuk berinteraksi dan saling terhubung secara virtual, saling berbagi informasi, foto, maupun video di media ini bukan berarti seenaknya atau semau gue dan suka-suka tanpa menyadari bahwa dibalik itu semua ada aturan formal yang mestinya perlu ditaati.

Memang perlu diakui di era keterbukaan seperti sekarang, setiap manusia memiliki kebebasan untuk menyampaikan informasi, pendapat, aspirasi, gagasan, ide/pemikiran, bahkan kritik pun diperbolehkan.Terlebih dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ditandai dengan tersedianya sarana komunikasi digital seperti smartphone akan mempermudah setiap penggunanya untuk melancarkan komunikasi melalui jaringan internet secara timbal balik, realtime, dan kapanpun bisa dilakukan, tanpa mengenal batas wilayah.

Layak dipahami bahwa berkomunikasi di media sosial berarti pula kita ikut menggunakan frekuensi (bandwidth) ataupun jaringan transmisi, dimana frekuensi itu sendiri merupakan 'milik bersama' dan dimanfaatkan banyak kalangan sehingga telah menjadikan ruang publik yang perlu dijaga, dipelihara dan dioptimalkan peruntukannya. Termasuk dalam hal ini mengenai konten-konten atau data yang tercakup didalamnya diharapkan banyak memberi manfaat.

Namun mengingat media sosial yang didalamnya banyak pengguna dari berbagai strata masyarakat tanpa ada batasan dalam arti siapa saja boleh menggunakan, bukan tidak mungkin isi/pesan atau konten yang berkembang kadang malah menjurus ke hal-hal yang kurang baik.

Penyampaian konten negatif di media sosial sangat mungkin terjadi, karena salah satu karakteristik media sosial yaitu  pesan yang di sampaikan bebas, tanpa melalui suatu gatekeeper. Keleluasaan (tanpa adanya pengendali) inilah yang seringkali kebablasan, seperti: kecenderungan ujaran kebencian, pencemaran nama baik, asusila, penghinaan, fitnah, berita bohong (hoax), perundungan (bullying) dan konten negatif lainnya. Bahkan dalam lingkup lebih luas, sangat dimungkinkan konten di media sosial disalah gunakan sehingga akan mengganggu keamanan negara, misalnya: isu SARA, jaringan terorisme, provokasi, propaganda/kampanye hitam dan lainnya.

Belum lama berselang, dalam berita kompas.com (25/07/2017) disebutkan Ropi Yatsman (35) divonis 15 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubukbasung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Senin (24/7/2017). Ropi terjerat kasus penghinaan Presiden Joko Widodo dan penyebar ujaran kebencian di media sosial, dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Terdakwa juga mengedit foto Presiden Joko Widodo dalam akun Facebooknya, melanggar Pasal 45 ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 Undang-undang No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kasus serupa akibat penggunaan media sosial, diberitakan puluhan dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar diperiksa di Kepolisian Resor (Polres) Gowa. Mereka diperiksa satu per satu secara berkala sejak pertengahan Juni lalu. Pemeriksaan itu menindaklajuti laporan Wakil Dekan III FDK Uinam, Nursyamsiah Yunus Teken, ke Polres Gowa, Senin (5/6/2017). Nursyamsiah merasa telah dicemarkan nama baiknya di grup "WA Save FDK" (kompas.com, 26/07/2017).

Dari contoh kasus di atas, sudah cukup kuat untuk mengatakan bahwa kita harus berhati-hati dalam berkomunikasi di media sosial, janganlah gegabah atau asal-asalan dalam memposting, mempublikasikan, menyebarluaskan atau mendistribusi (share) pesan ke ruang publik virtual. Salah-salah bisa mengundang proses hukum.

Dampak dari pesan atau informasi yang ditayangkan (informasi, foto, maupun video) harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Mengapa? Karena setiap informasi atau data yang dikomunikasikan pastinya akan membawa dampak-dampak, baik dampak fisik maupun dampak psikologis.

Sebab itu supaya kehadiran media elektronik, termasuk media sosial tidak 'kebablasan' dalam penggunaannya dan membawa akibat negatif maka perlu diatur dalam Undang-undang No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun