Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tantangan Pelaksanaan Sertifikasi Halal di Indonesia

7 November 2019   15:28 Diperbarui: 8 November 2019   04:49 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi makanan halal |Sumber: freepik.com

Dalam tulisan sebelumnya, saya mencoba mengulas mengapa Indonesia harus punya UU Jaminan Produk Halal. 

Beberapa alasan diantaranya, sebagai bentuk perlindungan negara terhadap warganya dalam menjalankan ajaran agamanya. Jaminan dimaksud adalah atas pemenuhan kebutuhan produk halal.

Di sisi lain, regulasi yang ada belum mampu menjadi instrumen untuk menjamin kebutuhan itu. Sementara dengan semakin berkembangnya perilaku konsumen dan perdagangan bebas, semakin sulit bagi umat Islam memilih produk halal.

Lebih lengkapnya ulasan tersebut dapat dibaca Alasan Mengapa Indonesia Harus Punya UU Halal

Meski demikian, dalam pelaksanaannya tidaklah mulus. Sejumlah tantangan menghadang di depan mata. Semua itu sepatutnya disikapi dengan bijak, agar tidak menimbulkan permasalahan dan gesekan di kemudian hari.

Saat diundangkan UU Jaminan Produk Halal 2014 lalu, sempat munculkan berbagi polemik. Mampukah Indonesia menjalankan UU secara berkeadilan, sesuai tujuan untuk melindungi warga negara dalam menjalankan UU ini di tengah keragaman bangsa ini.

Ragam Etnis dan Budaya
Sensus Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa di Indonesia ini ada 1.340 suku bangsa tersebar di penjuru nusantara. Dari sekian banyak perilaku, adat-istiadat, tentu bisa saja ada perbedaan dalam pemaknaan halal.

Kita tentu masih ingat berita yang sempat menggemparkan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin diisukan minum arak saat meresmikan Sekolah Tinggi Agama Katolik di Kalimantan Barat, April 2017 silam.

Saat itu, Menag LHS oleh penari disodori cawan berisi arak untuk diminum. Dalam adat Dayak, memberikan cawan berisikan arak adalah cara mereka menghormati tamu. Namun dalam pandangan syariat Islam, minum arak itu sangat dilarang dan perbuatan dosa.

Ragam Agama dan Kepercayaan
Indonesia adalah rumah umat beragama. Setidaknya ada enam agama besar di Indonesia, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. 

Sementara menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada 187 kepercayaan yang hidup dan berkembang.

Ragamnya agama dan kepercayaan ini juga berdampak pada perilaku umatnya dalam berkonsumsi, khususnya makanan dan minuman.

Contohnya, umat Islam dilarang mengkonsumsi babi dan segala macam turunannya. Tapi mereka diperbolehkan makan daging sapi. Sementara ada kelompok umat beragama lainnya yang dilarang makan daging sapi dan boleh makan daging babi.

Ragam Kuliner dan Produk
Pakar kuliner dari UGM Murdijati Gardjito pernah mencatat jumlah kuliner di Indonesia setidaknya mencapai 3.259 jenis. Daftar itu tentunya terus berkembang seiring perubahan perilaku konsumen masyarakat kini.

Selain kuliner, saat kita masuk outlet swalayan, di sana terpajang ratusan bahkan ribuan produk dari dalam dan luar negeri. Belum lagi bicara peredaran produk di pasar tradisional maupun modern.

Semua yang kita lihat, dan kita konsumsi sebagian besar adalah produk jadi. Dari setiap produk itu, terdiri atas bahan baku, bahan tambahan, dan bahan pendukung.

Satu produk bisa terdiri atas puluhan bahan, kemudian melalui proses panjang hingga sampai ke tangan konsumen.

Rangkaian pengadaan bahan dan pengolahan itu menjadi fokus dalam pemeriksaan produk halal. Untuk dinyatakan sebagai produk halal, serangkaian pemeriksaan dilakukan. Ada produk dengan pemeriksaan sederhana, namun ada pula yang sangat komplek.

Dari banyaknya variasi produk ini, berdampak perumusan standard halal lebih memadai untuk setiap produk.

Kesadaran Pelaku Usaha
Sertifikat halal yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) merupakan pengakuan dari pemerintah atas kehalalan produk yang diedarkan. Pengakuan tersebut mencakup aspek teknis dan aspek syariat.

Namun dalam pelaksanaan, sepenuhnya tergantung tabiat pelaku usaha. Makanya dalam konteks ini, pelaku usaha harus jujur. Mereka tetap dalam koridor sesuai kondisi saat dilakukan pemeriksaan.

Hampir tidak ada pihak luar yang mampu kontrol pelaku usaha dalam menghasilkan produk. Untuk itulah, salah satu syarat dalam mengajukan sertifikat halal, adanya Penyelia Halal. 

Profesi ini diangkat pelaku usaha untuk mengawasi jaminan halal dalam proses produksi.

Ketersediaan LPH dan Auditor Halal
Keberadaan auditor halal sebagai ujung tombak pemeriksaan menjadi keniscayaan. Bahkan di tangan mereka lah, hasil audit dilaporkan kepada Majelis Ulama Indonesia dan kemudian ditetapkan kehalalannya.

Saat ini hanya ada satu Lembaga Pemeriksa Halal, yakni Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM), dibawah Majelis Ulama Indonesia. 

Meski mereka memiliki perwakilan di tingkat provinsi, dari segi jumlah tidaklah cukup untuk memberikan pelayanan kepada pelaku usaha.

Kondisi yang sama adalah jumlah auditor halal. LPPOM sebagai LPH punya auditor halal kurang dari 1.500 orang, tersebar di pusat dan seluruh provinsi. Dengan kondisi tersebut, kapasitas mereka tahun 2018 lalu, mengeluarkan 17.000 sertifikat halal.

Kembali catatan BPS menyebut jumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia pada 2018 sebanyak 58,97 juta orang. Sementara Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah, menyebut ada 5.460 unit usaha besar.

Meskipun tidak semua unit usaha menjadi sasaran sertifikat halal, setidaknya data ini menjadi gambaran besarnya sasaran yang harus digarap BPJPH selesaikan sertifikat halal, lima tahun ke depan.

Kesiapan BPJPH
Peran BPJPH dalam sertifikat halal sebagai pintu gerbang, tempat pelaku usaha mendaftar sekaligus mendapatkan sertifikat halal. Tugas besar pemerintah, melakukan konsolidasi regulasi sekaligus menyiapkan instrumen teknis lainnya.

Secara struktur, BPJPH belum ada perwakilan di provinsi. Kekurangan ini disikapi dengan membentuk tim teknis pada tataran Kantor Wilayah Kementerian Agama. Mereka bertugas memberikan pelayanan publik, khususnya konsultasi dan pendaftaran.

Secara umum, ada tiga pekerjaan besar yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pertama, sertifikasi produk dalam negeri dan registrasi produk luar negeri. Kedua, pengawasan sekaligus pembinaan. Dan ketiga, kerjasama dan penetapan standar halal.

UU Jaminan Produk Halal hadir semata-mata untuk melindungi warga, bukan untuk mengkotak-kotak apalagi memecah, hanya persoalan perbedaan pandangan.

Jaminan produk halal, bukan berarti negara melarang peredaran produk dan melarang warga negara konsumsi produk yang tidak halal menurut syariat Islam. UU ini justru memberikan pagar dan label yang jelas, mana produk halal dan mana produk tidak halal.

#halalitubaik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun