Mohon tunggu...
Rosiady Sayuti
Rosiady Sayuti Mohon Tunggu... Dosen - Ka Prodi Sosiologi Unram

Ph.D. dari The Ohio State University, USA 2008-2013, Kepala Bappeda Provinsi NTB; 2013-2015 Asisten Satu Setda Prov NTB; 2015 - 2016, Kadis Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Prov. NTB; 1 Juni 2016 - 20 Mei 2019, Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.. 10 Juni 2019 - Sekarang Kembali Menjadi Dosen di Universitas Mataram, Sejak Januari 2020 menjadi Ketua Program Studi Sosiologi Universitas Mataram

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Industrialisasi dan Mimpi Gubernur NTB

29 April 2020   04:04 Diperbarui: 29 April 2020   04:04 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram

Rehat dulu soal Korona.  Insha Allah pada waktunya, korona akan berlalu. Kapan itu? Ya setelah tidak ada lagi kasus positif baru. Artinya tidak ada lagi penularan baru. Yang sudah tertular, sudah menjadi sembuh atau disiplin mengisolasi diri di rumah, sampai yang bersangkutan benar-benar negatif. 

Teorinya itu saja. Mudah-mudahan SK Kepala BNPB, yang berisi darurat nasional korona sampai dengan 28 Mei ini, tidak perlu diperpanjang lagi. Mudah-mudahan.

Sekarang tentang industrialisasi. Saya terinspirasi menulis soal ini setelah membaca tuisan Pak Gub Zulkieflimansyah di Lombok Post di lembar yang sama dengan tulisan saya tentang Korona dan Sosiologi.

Sebenarnya saya sudah memahami apa yang beliau fikirkan dengan industrialisasinya ketika beliau memaparkan konsep industrialisasi di depan para kepala SKPD awal tahun lalu. Waktu itu saya yang jadi  moderatornya. 

Acara itu sendiri digagas oleh Kepala Bappeda kala itu, pak Ridwansyah.  Tempat acaranya juga di Bappeda.  Di situ saya baru tahu kalau disertasi beliau terkait dengan industrialisasi.  Jadi pantaslah, kalau beliau sangat faham seluk beluk industralisasi.

Saya jadi ingat dengan konsep nilai tambahnya alm Prof. Habibie ketika menjadi Menristek sekembali dari Jerman tahun 80an. Bahwa kalau singkong dijual mentah, harganya bisa sepersepuluh bahkan seperseratus atau seperseribu dari kalau singkong diubah atau diproses melalui proses industri.  

Katakanlah menjadi kosmetik, atau obat, misalnya. Atau yang paling sederhana menjadi kerepek singkong lantas dikemas dengan bagus. Selisih antara jual mentah dengan jual hasil industri itulah, yang Prof. Habibi katakan sebagai nilai tambah. 

Syaratnya bisa terwujud nilai tambah itu dan menjadi uang, ya barangnya laku dijual.  Dan disitulah masalah kunci dari sukses atau gagalnya proses industrialisasi di suatu negara atau suatu daerah.

Hasil industri kita, selama ini, tidak laku di pasar. Kalah bersaing dengan produk dari daerah lain atau dari luar negeri. Contohnya, industri minyak kelapa kita di Cakra yang dulu pernah berjaya. 

Sekarang sudah tinggal nama, karena tidak mampu bersaing dengan produk sejenis dari Jawa. PT GNE, pernah diberikan fasilitas permesinan untuk memproduksi pupuk organik di Banyumulek.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun