Mohon tunggu...
Roselina Anindhita
Roselina Anindhita Mohon Tunggu... Konsultan - Writer

polesor wild wind https://www.youtube.com/channel/UChhTBcntF2ebkMqjr8ch5CQ

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Review Buku Dede Oetomo : Memberi Suara pada yang Bisu

27 April 2017   23:00 Diperbarui: 28 April 2017   08:00 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

                Kompasiana,YOGYAKARTA- Dede Oetomo merupakan aktivis gay sekaligus Dosen FISIP Universitas Airlangga. Dede yang lahir pada 6 Desember 1953 merupakan sosok yang terbuka, terutama mengenai orientasi seksualnya. Ia menegaskan bahwa homoseks sama seperti manusia heteroseks yang juga memiliki hak untuk hidup sebagai manusia yang utuh.

Pengakuannya akan orientasi seksualnya yang  mengarah kepada laki-laki  atau merupakan homoseks tidak membuat dirinya terpuruk dalam perjalanan karirnya, malahan Dede menjadi sosok yang berprestasi dengan berbagai penghargaan yang diraihnya juga kedudukannya dalam organisasi-organisasi nasional maupun internasional yang sangat berpengaruh pada perjuangan hak-hak gay sebagai manusia.

 Dalam buku ini, Dede memaparkan seluk-beluk homoseks termasuk perjuangannya di hampir seluruh dunia secara rinci dan lebih mendalam dibanding buku mengenai homoseks lainnya di Indonesia seperti Tangan Kuasa dalam Kelamin oleh Hatib Abdul Kadir yang memaparkan homoseks secara singkat. Dede menjelaskan kehidupan homoseks secara kongrit dengan menyertakan banyak contoh dan realitas yang ada ditengah masyarakat. Lantas, apa yang membuat Dede begitu ulet berkutat dalam perjuangan gay?

Memberi suara pada yang bisu adalah buku yang memaparkan keadaan homoseks, perjuangan, kehidupan, dan organisasi yang ada. Dalam buku ini, termuat perjuangan gay yang teramat berat, juga cukup lama untuk sampai pada titik pengakuan dan penghargaan atas keberadaanya. Emansipasi gay sama sulitnya dengan emansipasi wanita, meskipun letak kesulitannya berbeda. Perjuangan para homoseks ini menguat sejak peristiwa perlawanan gay terhadap penggerebekan oleh polisi di salah satu bar homoseks di America. Yang kemudian menjadi titi tolak perjuangan gay secara lebih terbuka. Sehingga, setelah perjuangan berat dan cukup lama , akhirnya gay diakui secara hukum oleh sedikit negara di dunia. Sebagai pelopor adalah Belanda yang mengakui dan mengizinkan gay untuk memiliki ikatan dalam pernikahan. Meski tidak semua negara mengakui gay secara resmi dan terbuka, keberadaan gay  sebenarnya tidaklah asing dengan masyarakat Indonesia pada khususnya. Karena sejarah Indonesia yang memiliki banyak suku dan adat yang banyak diantaranya mengakui dan mempraktekkan perilaku gay atau homoseks. Seperti yang telah dipaparkan Dede Oetomo dengan sangat jelas mengenai hubungan gemblak-warok, syahwa, pemimpin toraja, dsb. 

Meskipun eksistensi gay cukup kuat dan dengan perjuangan panjang telah mampu mencapai suatu titik celah pengakuan, Dede Oetomo sangat menyayangkan sikap para lesbian yang tidak seterbuka kaumnya.  Dede juga merasa miris akan konstruksi masyarakat mengenai  HIV Aids yang terus saja dihubungkan dengan gay yang dianggap sebagai pedofil, padahal tidak semua gay adalah pedofil dan Aids dapat ditularkan oleh siapa dan apa saja selain gay, seperti pelacur, orang-orang hidung belang, atau yang jelas melalui cairan tubuh yang positif HIV.

Organisasi yang ada untuk wadah perjuangan dan ikatan gay juga dibentuk seperti Lamda Indonesia, Gaya Nusantara, IGS, dll. Gay juga menjadi sasaran sosialisasi HIV Aids. Berbeda dengan buku karya Hatib Abdul Kadir yang berjudul Tangan Kuasa dalam Kelamin yang memaparkan 4 teori mengenai lahirnya homoseksual, dalam Memberi Suara pada yang Bisu, Dede lebih mengungkapkan mengenai asal-muasal homoseks yang memang ada  sejak manusia itu diciptakan terbukti bahwa homoseks telah ada dalam zaman peradaban kuno seperti romawi, yunani, dll. Selain adanya perbedaan tersebut, kedua buku juga mengungkapkan kesamaan yakni mengenai keadaan dan perjuangan gay di Indonesia juga dunia, bagaimana gay hidup telah lama di nusantara tepatnya didalam kelompok-kelompok suku. Meski demikian dapat saya katakana bahwa Tangan Kuasa dalam Kelamin lebih merupakan pelengkap dari Memberi Suara pada yang bisu, karena dalam Tangan Kuasa dalam Kelamin terdapat tabel perbandingan homoseks di dunia, pandangan homoseks dari berbagai ahli, buku, dan peradaban di kawasan amerika selatan, afrika yang dominan negara islam juga makin menegaskan hasil tulisan Dede Oetomo dalam Memberi Suara pada yang bisu.

Meskipun yang disampaikan cukup jelas mengenai seluk-beluk gay, namun sering dijumpai kalimat-kalimat dan contoh kasus yang terus saja diulang-ulang seperti penjelasan mengenai warok dan gemblak di ponorogo, hubungan para santri dalam istilah syahwa, dll . Dan kadang susunan bahasa atau kalimat juga kurang jelas sehingga tidak mudah untuk dipahami. Namun sedikit kekurangan itu tidak berpengaruh besar terhadap kualitas keseluruhan buku ini. Buku ini sangat layak dan dianjurkan untuk dibaca, karena dapat membuka pikiran-pikiran yang terbilang primordial, etnosentris, dan diskriminan. Sehingga pada akhirnya toleransi untuk hidup bersama secara manusiawi dapat tercapai dengan tanpa mengesampingkan perbedaan namun tetap utuh dijaga untuk dihargai.

Sumber :

Oetomo, Dede. (2001). Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta : Pusaka Marwa Yogyakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun