Mohon tunggu...
Rosa Folia
Rosa Folia Mohon Tunggu... Independent Writer -

Bachelor of Arts in International Relations from Universitas Airlangga; Master of Arts in International Relations from Universitas Gadjah Mada. Politics, social, culture, football (not necessarily in that order). [Twitter: @folia_deux] [E-mail: rosafolia20@gmail.com]

Selanjutnya

Tutup

Bola

Liga Santri Nasional: Upaya Mencegah Radikalisme dan Ekstremisme serta Menghapus Stigma

16 Desember 2015   10:12 Diperbarui: 16 Desember 2015   12:06 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama setahun belakangan ini kita semakin sering mendengar sepak terjang kelompok teroris Daesh atau Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) yang kian mengglobal. Contohnya adalah dua tragedi terakhir, yakni, jatuhnya pesawat Rusia di Sinai dan serangan teror beruntun di beberapa lokasi di Paris. Pemerintah berbagai negara pun mengungkapkan kegelisahan karena banyak warga mereka berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan Daesh. Selain itu, banyak pula simpatisan Daesh berupaya menyebarkan radikalisme dan ekstremisme di dalam negeri masing-masing untuk kemudian merekrut lebih banyak pendukung.

Radikalisme sebagai sebuah paham memang tidak selalu berarti negatif. Namun, radikalisasi yang dilakukan Daesh dan pendukung-pendukungnya merupakan hal berbahaya karena penyebarluasan kebencian terhadap agama dan bangsa tertentu yang disertai penggunaan aksi-aksi ekstrem yang bisa dikategorikan sebagai bagian dari terorisme. Banyak faktor melatarbelakangi lahir serta berkembangnya radikalisme dan ekstremisme ini. Salah satu yang paling sering disebut adalah ideologi agama. Kita sempat belajar melalui sejarah tentang keberadaan Ku Klux Klan (KKK) sebagai kelompok teroris di Amerika yang aktif dalam tiga periode, yaitu, akhir abad 19, tahun 1920an, dan dari 1950an hingga awal 1960an.

Sebagaimana Daesh yang bercita-cita mendirikan kekhalifahan Islam melalui aksi-aksi teror di wilayah-wilayah yang telah tercerai-berai akibat perang, KKK pun bertujuan menjadikan Amerika Serikat murni sebagai negara Protestan. Ekstremisme Protestan radikal disertai konsep supremasi kulit putih kemudian berujung pada penggunaan metode familiar: terorisme. Maka, persoalan radikalisme dan ekstremisme bisa berakar dari ideologi agama apapun, tak hanya Islam. Tanggungjawab untuk mencegah keduanya pun tidak sepatutnya hanya dibebankan kepada negara, melainkan seluruh lapisan termasuk tokoh-tokoh agama baik di sekolah, tempat ibadah, maupun masyarakat.

Tahun ini BNPT memperkirakan sekitar 500 WNI bergabung bersama Daesh. Target radikalisasi pun lebih banyak anak muda. Scott Atran, seorang sosiolog dari John Jay College New York, pada 2010 menyatakan di depan Kongres AS bahwa proses masuknya anak muda ke dalam kelompok jihad ekstrem adalah dari bawah ke atas. Mereka adalah anak-anak muda yang teralienasi dan termarginalkan dalam masyarakat, bertujuan mencari teman, kepercayaan diri, serta tujuan hidup. Selain itu mereka juga mencari aksi-aksi mendebarkan, dukungan, serta kemenangan yang tidak mereka dapat dalam kehidupan sehari-hari tetapi ditawarkan oleh kelompok-kelompok teror tersebut. Sedangkan para imam radikal berperan dalam menyampaikan pesan-pesan yang dianggap menginspirasi oleh anak-anak muda tersebut (seperti dikutip dari A Decade Lost: Rethinking Radicalisation and Extremism oleh Profesor Arun Kundnani).

Satu hal menarik berkaitan dengan konteks ini adalah Liga Santri Nusantara, turnamen sepakbola U-17 yang diadakan oleh Kemenpora dan telah mencapai final pada 6 Desember lalu dengan Pondok Pesantren Nurul Islam Jember sebagai juara. Banyak pihak termasuk Menpora sendiri mengatakan kemungkinan munculnya bibit-bibit pemain nasional dari kalangan santri, bukan terbatas dari sekolah sepakbola seperti pada umumnya. Menpora juga menyebutkan pentingnya peran nilai-nilai agama dalam sepakbola untuk menumbuhkan kejujuran. Namun, yang mungkin belum disadari adalah turnamen tersebut bisa menjadi metode pencegahan radikalisme dan ekstremisme yang berpotensi muncul dari lingkungan pesantren.

Kaum fundamentalis menganggap sepakbola sebagai aktivitas haram karena menjauhkan kita dari kegiatan agama dan mendekatkan kita pada hedonisme. Salah satu yang tidak sependapat dengan anggapan tersebut adalah Vatikan yang menyelenggarakan Clericus Cup. Diresmikan pada 2007 dan diikuti oleh 16 tim yang terdiri dari seminaris Gereja Katolik Roma, Vatikan ingin membuktikan bahwa sepakbola secara positif berdampingan dengan nilai-nilai Katolik dan mampu menjadi penghubung antara seminaris dengan dunia luar. Sepakbola juga menjadi tempat pelarian anak-anak muda yang sempat menjadi milisi Al-Shabaab, kelompok teroris Somalia yang mengharamkan sepakbola.

Melakukan generalisasi bahwa pesantren adalah sarang terorisme sebenarnya merupakan hal dangkal. Namun, kita tidak bisa mengelak bahwa stigma yang diberikan kepada pesantren akibat ulah Amrozi maupun Imam Samudra dalam bom Bali harus dihapus oleh pesantren-pesantren yang betul-betul mengajarkan Islam sebagai agama yang memberi rahmat pada alam semesta melalui cinta dan toleransi. Sidney Jones sendiri yang adalah pakar terorisme menyebutkan masih banyak aktivitas dan jaringan radikal di Pondok Pesantren al-Mukmin, Ngruki, milik terpidana terorisme Abu Bakar Ba'asyir. Banyak orangtua mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah disana karena mereka terlebih dulu memegang ajaran Islam radikal.

Olahraga, termasuk sepakbola, adalah salah satu alat pencegah penyebarluasan radikalisme dan ekstremisme di kalangan anak muda. Di usia dimana mereka masih mencari jati diri kita harus memberikan banyak alternatif positif yang mereka bisa jalani dan kejar sebagai cita-cita. Dari sepakbola mereka bisa memperoleh teman, berjuang untuk menang, merasa berguna, serta memiliki tujuan. Selain itu, turnamen semacam ini bisa menjadi pembuktian bahwa pesantren terbuka terhadap modernisasi sehingga setidaknya mampu mereduksi anggapan negatif tentang Islam dan pesantren. Kedepannya setelah para santri ini berkompetisi di Liga Santri Nusantara, semoga mereka mampu bermain di liga sesungguhnya, membela tim nasional dan mengharumkan nama bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun