Mohon tunggu...
Rosa Folia
Rosa Folia Mohon Tunggu... Independent Writer -

Bachelor of Arts in International Relations from Universitas Airlangga; Master of Arts in International Relations from Universitas Gadjah Mada. Politics, social, culture, football (not necessarily in that order). [Twitter: @folia_deux] [E-mail: rosafolia20@gmail.com]

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dunia Setelah Trans-Pacific Partnership Agreement (Bagian II - Habis)

8 Januari 2016   16:27 Diperbarui: 8 Januari 2016   16:39 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anda mungkin saat ini sedang sangat tertarik mengikuti kasus politik apa lagi yang muncul setelah satu kasus selesai (dengan akhir yang tidak pernah memuaskan, tentunya) seolah-olah kita selalu mendapat suguhan ‘opera sabun’ yang tiada habisnya tapi selalu berhasil menarik perhatian. Di benak Anda bisa jadi muncul pertanyaan “mengapa saya harus peduli tentang isu monopoli obat yang diusulkan TPPA?” seakan tidak mungkin terkena dampaknya. Jika itu keyakinan Anda, silakan. Sayangnya, ada berjuta-juta orang di luar sana yang akan sangat menderita bila rancangan TPPA disetujui, kalau Anda cukup peduli.

Dalam tulisan sebelumnya saya memberikan gambaran bagaimana dominasi negara-negara maju secara umum dan kelanjutannya, yakni, dalam sektor layanan kesehatan melalui TPPA yang akan sangat merugikan masyarakat miskin, terutama di negara-negara miskin. Di bagian kedua ini saya melanjutkan dengan bagaimana hal tersebut merupakan bagian dari kekerasan struktural yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan.

DEFINISI KEKERASAN STRUKTURAL         

Ketika menyinggung tentang kekerasan mungkin di benak sebagian besar orang akan muncul visualisasi kekerasan fisik seperti hantaman dan tendangan dalam perkelahian maupun bentrokan antara demonstran dengan aparat keamanan. Namun, kekerasan ternyata tidak hanya sebatas yang terjadi pada fisik yang dilakukan oleh aktor lain secara langsung. Ada pun kekerasan tidak langsung. Johan Galtung dalam Violence, Peace, and Peace Research (1969) membagi kekerasan menjadi tiga bentuk: (a) kekerasan personal; (b) kekerasan struktural; (c) kekerasan budaya. Karena fokus tulisan ini adalah kekerasan struktural, maka saya tidak membahas satu per satu dari tiga bentuk kekerasan tersebut.

Galtung menjelaskan kekerasan terjadi ketika ada jurang perbedaan antara kondisi yang mungkin bisa dicapai (potensial) dengan kondisi saat ini (aktual). Secara sederhana, kekerasan struktural adalah kekerasan yang dibangun dalam sebuah struktur secara sistematis. Jika Anda membaca tulisan saya sebelumnya Anda akan paham bahwa struktur tersebut, secara global, sudah dibangun sejak lama dan telah berakar sangat dalam. Struktur kapitalis. Bentuk paling mudah dari kekerasan struktural bisa Anda lihat dalam rasisme, sexisme, kemiskinan dan ketimpangan sosial lain. Bila X mampu membiayai perawatan terbaik untuk anaknya yang sakit leukimia, tetapi Y tidak dikarenakan kemiskinan dan tidak adanya akses ke layanan kesehatan yang terjangkau olehnya, maka kekerasan struktural terjadi.

Menurut strukturalisme aktor (manusia, kelompok, negara, korporasi) bukanlah agen yang bebas memilih dan mampu menentukan hasil akhir tertentu. Para aktor ini terikat dalam sebuah struktur yang saling berhubungan. Struktur itu menentukan identitas dan kepentingan mereka. Dalam struktur tersebut siapapun yang berada di puncak merupakan mereka yang memegang kekuasaan. Kekerasan struktural terjadi karena distribusi kekuasaan tidak merata. Konsekuensinya distribusi sumber daya pun ikut tidak merata.

Galtung mencontohkan beberapa puluh atau ratus tahun lalu seseorang meninggal karena TBC bisa dianggap sebagai hal yang wajar. Namun, jika seseorang menderita penyakit yang sama meninggal saat ini, padahal obat-obatan dan layanan kesehatan semakin maju namun ia tidak mampu memperolehnya, maka kekerasan juga terjadi. Lain cerita bila Anda memiliki uang sehingga mendapat akses terhadap obat-obatan serta layanan kesehatan mutakhir. Di sini letak fokus pembahasan kekerasan struktural.

Eksploitasi sumber daya berdasarkan siapa yang memegang kekuasaan adalah inti kekerasan struktural. Para aktor yang berkuasa memiliki keistimewaan untuk menentukan siapa yang bisa dan tidak bisa mengakses sumber daya. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh keuntungan dengan mengorbankan orang-orang tidak mampu. Persoalan dalam tipe kekerasan ini adalah tidak adanya aktor yang terlihat sebagai pelaku dan bisa dituntut hukum sebab mereka berada dalam satu kesatuan dengan struktur tersebut. Struktur itu layaknya jaring laba-laba yang terajut sejak lama dengan kuat, terdiri dari kepentingan penguasa, dimana setiap waktu bisa bertambah tebal dan besar.

KEKERASAN STRUKTURAL DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Kathleen Ho, peneliti dari Universitas Essex di Inggris, dengan gamblang menjelaskan perihal ini dalam penelitiannya yang berjudul Structural Violence as a Human Rights Violation (2007). Penting bagi kita untuk memahami kekerasan struktural karena hal itu merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dengan memahami kekerasan struktural setidaknya kita tahu hak kita sedang dilanggar. Hal berikutnya adalah tergantung pada kita. Bila dalam kasus pelanggaran HAM yang mencederai fisik manusia secara langsung kita dapat langsung menuntut dan mengadili pelaku, tidak dengan kekerasan struktural. Kita tidak bisa menuntut korporasi dan negara atas tuduhan di atas. Tetapi, protes tetap bisa disuarakan.

Kantor Komisioner Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan HAM (OHCHR) menegaskan manusia berhak atas kapabilitas dasar berupa kebebasan untuk menghindari kelaparan, penyakit, buta aksara, dan sebagainya. Selain sebagai hak, kapabilitas dasar tersebut juga merupakan kondisi potensial yang mungkin bisa dicapai manusia. Ketidakmampuan untuk berada dalam kondisi itu menunjukkan adanya kekerasan struktural, padahal hak-hak tersebut bersifat sangat fundamental untuk kelangsungan hidup manusia. Misalnya saat Y tidak bisa membiayai terapi anaknya yang menderita leukimia. Kita harus melihat gambaran besarnya untuk melihat dengan jelas kekerasan struktural yang ada sebagai pelanggaran HAM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun