Mohon tunggu...
Rosa Folia
Rosa Folia Mohon Tunggu... Independent Writer -

Bachelor of Arts in International Relations from Universitas Airlangga; Master of Arts in International Relations from Universitas Gadjah Mada. Politics, social, culture, football (not necessarily in that order). [Twitter: @folia_deux] [E-mail: rosafolia20@gmail.com]

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dunia Setelah Trans-Pacific Partnership Agreement (Bagian II - Habis)

8 Januari 2016   16:27 Diperbarui: 8 Januari 2016   16:39 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Contohnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan jelas menyebutkan bahwa “hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Maka, bila masyarakat tidak mendapat akses layanan kesehatan dikarenakan biayanya mahal, negara sedang melakukan pelanggaran HAM dengan melakukan kekerasan struktural. Terlebih lagi ketika negara tinggal diam atau malah mendukung keberlangsungan sistem yang membuat kekerasan itu ada.

MUNCULNYA KEKERASAN STRUKTURAL DARI TPPA

Anda sudah mengetahui gambaran monopoli obat-obatan melalui TPPA dalam tulisan sebelumnya. Saya menjelaskan bahwa harga-harga obat-obatan akan meroket, sementara ketersediaan obat-obat generik sebagai alternatif akan (sengaja) dibuat terlambat. Beberapa pihak menyebutkan paten yang ketat bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan formula obat asli serta menjadi insentif bagi ilmuwan untuk semakin giat melakukan riset dan pengembangan sendiri. Argumen ini merupakan kedok dari tujuan sesungguhnya.

Doctors Without Borders/Médecins sans Frontières (MSF), organisasi humanitarian yang fokus pada urusan medis di hampir 70 negara miskin dan berkembang, sejak lama menyuarakan betapa vitalnya peran obat generik bagi kaum miskin. Sebuah artikel menyebutkan pada tahun 1997 perawatan untuk penderita HIV di Afrika Selatan mencapai lebih dari 20.000 dolar Amerika per tahun. Kini, obat-obatan didistribusikan gratis oleh pemerintah yang hanya membayar sekitar 200 dolar Amerika per tahun untuk obat pendamping.

Data dari tahun 2006 di Indonesia menunjukkan salah satu jenis obat anti-retroviral paten untuk HIV/AIDS  dibanderol dengan harga 600 dolar Amerika per 60 tablet. Sementara itu, harga versi generiknya berkisar antara 18 hingga 65 dolar Amerika per 60 tablet. Itu hanya untuk HIV/AIDS. Pasien leukimia di Amerika Serikat harus mengeluarkan sekitar 70.000 dolar Amerika untuk obat bernama Gleevac. Sedangkan harga versi generiknya yang dibuat oleh India jauh lebih murah, yaitu, 2.500 dolar Amerika. Masih banyak penyakit lain, seperti malaria dan TBC, yang juga memerlukan perawatan intensif. Dengan ketersediaan obat-obat generik yang didukung oleh ijin pemerintah, banyak nyawa yang bisa diselamatkan sehingga kekerasan bisa dihindari.

Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakatnya. Tetapi, dalam dunia setelah TPPA berlaku, pemerintah harus tunduk kepada kepentingan perusahaan-perusahaan farmasi yang bertujuan semata-mata mencari profit. Hal ini tidak terlepas dari kuatnya lobi-lobi perusahaan farmasi besar dunia selama proses negosiasi TPPA yang rahasia itu. Dari situs ini Anda bisa memperoleh data korporasi yang berkoalisi untuk menyukseskan kepentingan mereka melalui TPPA. Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA), kelompok kepentingan di bidang farmasi di Amerika Serikat, bertahun-tahun memprotes adanya perusahaan pembuat obat generik di India. Tidak mengejutkan ketika anggotanya, antara lain GlaxoSmithKline, Pfizer, dan Johnson&Johnson, menjadi anggota koalisi TPPA.

Jurnalis independen, C.Robert Gibson, bahkan menunjukkan daftar korporasi mana saja yang menjadi donor bagi senator-senator Amerika Serikat di masa kampanye agar badan legislatif menyetujui draft TPPA. Di antara daftar tersebut terdapat anggota koalisi TPPA dari sektor farmasi seperti Abbott, Biotech Industry, Johnson & Johnson, Monsanto, Novartis, dan Pfizer. Anda pasti pernah mendengar beberapa nama-nama tersebut karena mereka juga beroperasi di Indonesia. Individu serta kelompok yang berada di pemerintahan dan menyetujui TPPA berarti mendukung kepentingan korporasi-korporasi tersebut untuk memonopoli sektor layanan kesehatan.

Kompetisi dari produsen obat generik membuat harga obat bisa diturunkan. Pemerintah yang memberikan subsidi dari anggaran negara maupun dengan adanya bantuan dana dari lembaga non-profit asing mampu menyediakan akses ke layanan kesehatan bagi masyarakatnya yang tidak mampu. Hal tersebut adalah tanggungjawab moral negara. Sayangnya, jika rancangan TPPA tersebut disetujui, maka negara tunduk pada korporasi. Kondisi yang demikian membuat kesehatan kita, utamanya masyarakat miskin di negara semi-pinggiran dan pinggiran, akan sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi dan politik penguasa yang mengeksploitasi sumber daya (layanan kesehatan, termasuk obat-obatan). Korporasi-korporasi membangun struktur kapitalis demi monopoli keuntungan dengan menggunakan perlindungan terhadap kekayaan intelektual sebagai tameng.

Sekali lagi saya kembalikan ke konteks Indonesia. Dengan masa depan yang terlihat suram bagi mayoritas masyarakat Indonesia, dalam kasus ini di bidang layanan kesehatan, maka sebaiknya pemerintah Indonesia memikirkan baik-baik niat untuk bergabung dengan TPPA. Banyak analisa hanya melihat dari segi keuntungan ekonomi, tanpa memperhatikan bahwa pertumbuhan ekonomi berapa persen pun tidak akan berarti apa-apa bagi kesejahteraan masyarakat bila masih banyak yang tidak mampu mengakses layanan kesehatan. Malaysia sendiri bagian dari TPPA, tapi setidaknya sejak 2014 (sebelum bergabung dengan TPPA) telah banyak masyarakatnya yang memprotes keras keputusan tersebut. Begitu pun di Amerika Serikat, Australia, dan Kanada. Nampaknya, kita masih tenang-tenang saja ketika Presiden Jokowi melontarkan keinginan untuk ikut dalam TPPA. Semoga ini bukan karena kita tidak peduli.

 

               

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun