Mohon tunggu...
Ropiyadi ALBA
Ropiyadi ALBA Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik di SMA Putra Bangsa Depok-Jawa Barat dan Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan MIPA Universitas Indra Prasta Jakarta

Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat, membaca dan menulis untuk pengembangan potensi diri dan kebaikan ummat manusia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Klaim Penemuan Obat Covid-19 dan Otoritas Keilmuan di Era Disrupsi

5 Agustus 2020   20:08 Diperbarui: 9 Agustus 2020   17:06 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Era Revolusi Industri 4.0 telah memicu terjadinya disrupsi otoritas keilmuan. |Sumber gambar:Kompas.com

Saat ini kita berada pada era disrupsi dan revolusi industri 4.0. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disrupsi adalah hal yang tercabut dari akarnya. Era disrupsi ini merupakan fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, berpindah ke dunia maya. 

Era disrupsi tidak hanya mengacaukan distribusi informasi dan tatanan sosial akibat proses digitalisasi, namun juga menggoyahkan otoritas ilmu pengetahuan. Ada sebuah ungkapan,"dosen kalah cepat karena harus mencari dan membaca buku, sedangkan mahasiswa hanya mengetik di Google". 

Ketika sumber informasi dan pengetahuan terpampang lebar di internet, masihkah perguruan tinggi menjadi tempat bagi seseorang untuk mendapat pengakuan terhadap kepakarannya sebagai insan yang berilmu? 

Saat ini, untuk mendapatkan sebuah keahlian kompetensi atau kepakaran dalam suatu bidang, seseorang dapat menjadikan internet sebagai sumber pengetahuannya, baik yang bersifat teoritis maupun praktis dan implementatif. Banyak hal yang bersifat kajian, tutorial, penemuan, bahkan jurnal ilmiah tersaji di internet. 

Patut diakui memang ada sedikit orang yang memiliki kemampuan ahli dalam suatu bidang, namun tidak didukung oleh bukti kualifikasi akademik yang formal. 

Mereka hanya mengenyam pendidikan tertinggi sampai jenjang sarjana namun bisa bergelar Doktor, kepakarannya diakui oleh lembaga akademis (perguruan tinggi). Kepada mereka disematkan gelar kehormatan "Doktor Honoris Causa". 

Gelar Honoris Causa (H.C) adalah sebuah gelar kesarjanaan yang diberikan oleh suatu perguruan tinggi/universitas yang memenuhi syarat kepada seseorang, tanpa orang tersebut perlu untuk mengikuti dan lulus dari pendidikan yang sesuai untuk mendapatkan gelar kesarjanaannya tersebut.

Pemberian gelar akademis "Honoris Causa" memang menjadi otoritas perguruan tinggi yang memenuhi syarat kualifikasi menurut standar Kemendikbud. Namun adakalanya sebagai masyarakat kita patut merasa heran ketika datang musim kampanye, banyak terpampang nama-nama calon dengan gelar akademis kehormatannya, tanpa kita ketahui syarat-syarat apa yang telah dipenuhinya sehingga yang bersangkutan layak menyandang gelar tersebut.

Mengutip sebuah ungkapan satire dari salah seorang tokoh nasional,"Menyandang gelar akademis bukanlah bukti kepakaran seseorang, namun itu hanyalah bukti bahwa ia pernah kuliah". 

Sejatinya, bahwa gelar akademis seseorang menunjukkan kepakarannya dalam bidang tersebut. Namun faktanya, tidak jarang seseorang menyandang gelar Magister bahkan Doktor namun tidak memiliki kompetensi di bidangnya. 

Lantas yang dipertanyakan adalah, "bagaimana proses orang itu meraih gelar tersebut, dan lembaga mana yang mengeluarkan kualifikasi akademiknya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun