Mohon tunggu...
Ropiyadi ALBA
Ropiyadi ALBA Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik di SMA Putra Bangsa Depok-Jawa Barat dan Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan MIPA Universitas Indra Prasta Jakarta

Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat, membaca dan menulis untuk pengembangan potensi diri dan kebaikan ummat manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Tantangan Pilkada 2020 di Tengah Pandemi Covid-19

2 Agustus 2020   14:13 Diperbarui: 2 Agustus 2020   14:24 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar:Kompas.om

Pandemi covid-19 memang memiliki dampak yang kompleks meliputi hampir seluruh dimensi kehidupan, baik politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Pandemipun menyasar pada agenda politik seperti Pilkada. Setelah mengalami pengunduran selama 3 bulan dari tanggal yang ditetapkan sebelumnya pada bulan September 2020, akhirnya pemerintah bersama DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersepakat untuk menyelenggarakan Pilkada pada 9 Desember 2020. 

Namun apabila menjelang penyelenggaraan Pilkada kondisi darurat bencana Covid-19 belum berakhir, maka Pilkada dapat ditunda hingga Maret atau bahkan Desember 2021.

Pilkada 2020 yang akan berlangsung di tengah pandemi akan mengalami banyak kerumitan. Dari sisi teknis barangkali Pilkada 2020 lebih ringan dibanding Pilpres 2019, karena surat suara dan jumlah peserta yang lebih sedikit. Namun dari aspek non elektoralnya akan lebih berat, karena akan banyak problem terkait akses hak pilih.

Berapa banyak orang yang akan terkendala akses hak pilihnya karena berstatus Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang dikarantina atau tenaga medis yang tidak bisa pulang ke rumah. Bagi mereka yang berstatus pasien positif covid-19 tidak bisa datang langsung ke TPS, namun dapat tetap menyalurkan aspirasinya melaui pos atau media sejenis.

Sementara untuk pemilih umum (general voters) dapat langsung datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan harus mengikuti standar protokol kesehatan yang ketat, seperti wajib memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun ataupun hand sanitizer. 

Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) harus mampu mendesain TPS yang menjamin terlaksananya protokol kesehatan, seperti pengadaan temperatur gun, tempat cuci tangan, pembatasan jarak agar tidak menimbulkan kerumunan, serta membuka layanan jemput bola bagi mereka yang sakit atau manula.

Pilkada 2020 yang merupakan bagian dari praktek kehidupan bernegara yang demokratis sejatinya memang harus tetap berjalan sesuai dengan agenda yang telah ditetapkan. Pilkada secara langsung yang sudah dimulai sejak 2015, diharapkan menjadi sarana penyaluran aspirasi masyarakat di daerah dalam memilih pemimpin mereka. Namun antara yang diharapkan dengan kenyataan dilapangan jauh berbeda. Tradisi politik yang terbangun justru semakin meminggirkan substansi partisipasi masyarakat, hal ini dapat dilihat dari beberapa hal di antaranya:

1).  Menguatnya politik identitas sebagai basis konsolidasi politik. Politik identitas begitu kental ketika gelaran Pilkada berlangsung, baik yang sifatnya identitas suku, agama, masyarakat pribumi/pendatang, fanatisme ormas, dan lain sebagainya.

2). Fungsi rekrutmen politik oleh partai politik (parpol) masih belum menunjukkan perbaikan. Seringnya muncul calon tunggal dalam gelaran pilkada yang melawan kotak kosong menandakan fungsi rekrutmen yang tidak berjalan di semua partai politik. Partai politik yang kurang percaya diri pada calonnya, akhirnya mendekat dan berkoalisi pada parpol lain yang dianggap mempunyai elektabilitas tinggi.

3). Semakin identiknya pilkada dengan putaran modal. Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk menjadi calon kepala daerah harus memiliki modal besar atau minimal disokong oleh pemilik modal. Dalam kondisi ini kita akan sulit untuk berharap mendapatkan pemimpin yang ideal dan punya integritas, karena pemimpin yang punya kapasitas namun tidak didukung oleh modal yang besar tidak akan muncul kepermukaan.

4). Pilkada serentak juga mendorong lahirnya dinasti politik di daerah.Berapa banyak kita saksikan, adanya kepala daerah yang istrinya, anaknya, menantunya menjadi kepala daerah juga. Memang itulah demokrasi, setiap orang memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih, namun apakah setiap orang memiliki akses yang sama untuk bisa dipilih?. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun