Mohon tunggu...
Ropiyadi ALBA
Ropiyadi ALBA Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik di SMA Putra Bangsa Depok-Jawa Barat dan Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan MIPA Universitas Indra Prasta Jakarta

Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat, membaca dan menulis untuk pengembangan potensi diri dan kebaikan ummat manusia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Dipilih MPR, Sebuah Kemunduran Reformasi?

30 November 2019   21:27 Diperbarui: 1 Desember 2019   19:24 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari terakhir ini tersebar sebuah wacana mengenai amandemen UUD 1945 terkait pemilihan presiden dan masa jabatannya. Sebagaimana kita ketahui sebelumnya bahwa pasca reformasi, telah terjadi amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, yaitu pada kurun waktu tahun 1999 - 2002. Pada amandemen terakhir disepakati bahwa presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, namun dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Sedangkan untuk masa jabatannya maksimal 10 tahun, 5 tahun untuk satu periode dan berhak menyalonkan kembali dipemilu berikutnya.

Kelompok yang menginginkan presiden dan wakil presiden sebaiknya dipilih oleh MPR berargumen bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung-khususnya yang terakhir terjadi di bulan April 2019- telah menimbulkan keterbelahan di tengah-tengah masyarakat serta menimbulkan biaya tinggi serta korban jiwa dan kerugian lainnya.

Kalau ini yang menjadi alasan sebenarnya, rasanya sah-sah saja amandemen UUD 1945 terkait mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan. Namun sebagian publik tidak merasa yakin kalau ini yang menjadi alasan. Bahkan ini dianggap sebuah langkah kemunduran menuju Neo Orbaisme dan menghianati amanat Reformasi.

Hal yang dikhawatirkan akan terjadi apabila presiden dipilih oleh MPR adalah bahwa lembaga MPR/DPR hanya akan jadi lembaga stempel setiap kebijakan eksekutif sebagaimana yang telah terjadi di zaman orde baru selama 32 tahun.

Peluang akan terjadinya perbedaan aspirasi antara ruang parlemen dengan ruang publik akan semakin besar. Peranan dan keterlibatan rakyat dalam politik akan semakin kecil.

Saat ini seolah demokrasi yang kita terapkan masih mencari bentuk idealnya. Tidak bisa disamakan antara satu negara dengan negara lainnya dalam penerapan demokrasi karena memang kondisi setiap negara berbeda.

Jangan sampai setiap upaya yang dilakukan seolah untuk kepentingan rakyat dan untuk kemaslahatan ummat. Namun sejatinya hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan status quo.

Sudah menjadi kewajiban setiap penyelenggara negara untuk mengelola negara ini dengan baik dan penuh integritas. Sehingga setiap ucapannya dan perbuatannya dipercaya masyarakat.

Pada dasarnya mayoritas rakyat mungkin tidak terlalu risau apakah presiden dipilih secara langsung atau melalui MPR. Yang dirisaukan adalah nasib kesejahteraan mereka.

Banyak di antara rakyat saat ini yang sulit mendapat pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Bahkan banyak posisi strategis di lembaga atau perusahaan BUMN atau swasta yang ditempati  oleh pihak asing.

Akhirnya kita berharap semoga kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini makin hari semakin baik, para pemimpinnya jujur dan tidak pandai berbohong. Rakyatnya tidak bersifat apatis ,memiliki jiwa patriotisme yang tinggi dan tidak rela bila negerinya dijajah kembali oleh asing dengan segala macam bentuknya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun