Mohon tunggu...
NoVote
NoVote Mohon Tunggu... Guru - Mohon maaf jika tak bisa vote balik dan komen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Terimakasih

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Parliamentary Threshold" Mau Diubah Lagi?

11 Maret 2020   11:06 Diperbarui: 11 Maret 2020   18:58 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir setiap lima tahun sekali pasti soal parliamentary threshold dibahas semenjak pertama kali diterapkan tahun 2009. Sebenarnya ada apa sih? Hampir tak pernah usai dalam pembahasan. Setelah diputuskan, pada waktunya diubah lagi. Alasannya pasti sama, produk hukum pasti mengalami pembaharuan.Pembaharuan atau ada keinginan tersembunyi? Hanya para pencetus parliamentary threshold yang tahu. Bukanlah lebih berhasil guna jika bahasannya pada hal lain yang lebih urgen.

Banyak masalah bangsa yang layak jadi perbincangan dan pembahasan. Skala prioritas tentang kekurangan dan kelemahan bangsa terhampar di depan mata.

Tentang bagaimana agar kampanya saling menjatuhkan, mengurangi kecurangan, dan lain-lain. Sepertinya masyarakat bangsa ini akan melihatnya lebih elegan daripada sekedar mewacanakan perubahan parliamentary threshold.

Tidak salah sih, cuma terlihatnya seperti apa gitu. Seperti mencoba mengambil keuntung untuk partainya. Membaca peluang partai baru dan lama dalam perolehan kursi di DPR dan DPRD.

Ambang batas parlemen (bahasa Inggris: parliamentary threshold) adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009. (Wikipedia)

Hasil pertemuan dua pimpinan partai itu ada usulan dari Surya Paloh untuk merevisi Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 ihwal pemilihan umum terkait kenaikan ambang batas parliamentary threshold dari 4 persen menjadi 7 persen. (Detiknews.com,9/3/2020)

Kalau setiap menjelang pemilihan umum parliamentary threshold berubah pasti ada yang diuntungkan dan dirugikan. Kemudian kesan yang tampak secara kasat mata adalah bagaimana mencari untung, bukan bagaimana membangun bangsa.

Dan polemik ini pasti akan panjang dalam perdebatan di DPR nantinya. Kemudian disorot media massa. Sehingga yang terlihat perdebatan menjurus pada berapa peluang kursi yang dapat didapatkan partainya. Ujung-ujungnya rebutan kursi.

Jadi secara tidak langsung sebenarnya akan merugikan diri sendiri. Simpati dari warga masyarakat pada partai yang mengusulkan parliamentary threshold berkurang.

Dalam kacamata awam pasti akan melihatnya sebagai sebuah drama untuk para elit belaka, bagaimana agar kursi DPR dan DPRD dapat diduduki sebanyak-banyaknya.

Padahal yang dinanti warga masyarakat adalah adanya perubahan mulai dari undang-undang dan peraturan yang berpihak pada rakyat. "Wong cilik" diperhatikan. Jangan hanya ketika kampanye istilah "wong cilik" digaung-gaungkan. Setelah menjapat lupa siapa "wong cilik"nya.

Akan lebih cantik dan elegan jika strategi perubahan parliamentary threshold disampaikan secara tertutup. Ibarat ada timur, "ewuh pakewuh" pada warga masyarakat. Walau tidak melanggar hukum dan boleh-boleh saja.

Adat kesopanan harusnya tetap dijaga agar kesan menduduki jabatan DPR dan DPRD bukanlah suatu kenikmatan kursi empuk dan segala fasilitas yang menyertainya. Namun lebih kepada kerja nyata ikut dalam membangun bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun