Mohon tunggu...
Rooy Salamony
Rooy Salamony Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya pelayan masyarakat rooy-salamony.blogg.spot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Tujuh Hari Mengusir Setan (Keenam)

11 April 2015   01:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:16 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pukul sebelas malam. Hujan mulai turun membasahi kota Semarang. Orang-orang yang sedang berjalan mempercepat langkahnya. Beberapa lagi berlari kecil, menerobos kerumunan untuk mencapai tempat berteduh. Setyo memilih berdiri sejenak. Memandang dalam keremangan, mencari solusi terbaik.

Tangan kanannya diangkat ketika sebuah taksi mendekat. Sigap, ia menarik pintu dan melompat masuk, saat taksi menepi di depan Lawang Sewu. “ Terminal Terboyo, Pak,”imbuh Setyo sambil menarik pintu taksi, menutupinya dari terpaan hujan.

“Saya ndak masuk terminal Mas,”ucap sopir saat taksi meluncur membelah jalanan yang makin samar diguyur hujan.

“Gak apa-apa. Bapak nanti berhenti di depan percetakan Suara Merdeka saja. Saya mencari kendaraaan ke Rembang,” Setyo memberi sokongan.

“O....iya,”sopir taksi melarikan kendaraannya menuju terminal Terboyo. Sebagaimana Setyo, kebanyakan penumpang angkutan umum yang akan meninggalkan kota Semarang menuju Pati, Demak atau Rembang memilih tidak memasuki terminal bus antar kota Terboyo. Mereka lebih suka berhenti di depan area percetakan Suara Merdeka yang terletak di jalan Kaligawe. Disana terdapat bermacam mobil angkutan umum yang siap membawa penumpang yang bergerak ke kota-kota di wilayah timur Semarang.

****

Cukup aneh. Malam ini tidak begitu banyak bus angkutan antar kota yang melintas di depan percetakan. Beberapa mini bus yang berhenti menawarkan jasa pengantaran hanya sampai Pati. Para penumpang berlarian mengejar. Namun Setyo tidak tertarik. Ia masih membutuhkan satu kali pergantian bus kota dari Pati untuk mencapai Rembang, dan satu kali pergantian lagi dari Rembang ke Kragan. Itu bukan hal yang menyenangkan.

Namun ketika sebuah bus Indonesia jurusan Surabaya yang keluar terminal juga tidak berhenti meskipun Setyo sudah melambaikan kedua tangannya meminta tumpangan, ia mulai memikirkan alternatif baru. Apalagi hujan semakin deras menerpa. Setyo merasakan seluruh bagian belakang kemejanya telah basah terguyur. Rasa dingin mulai menjalar. Di tepi jalan hanya tersisa beberapa penumpang yang bertahan di tengah terpaan hujan.

“Rembang.....Rembang....Rembang,”suara sopir menawarkan jasa. Sebuah mini bus berhenti sesaat di tepi jalan. Semula Setyo agak ragu saat melihat warna plat nomor mobil. Hitam. Biasanya sopir angkutan umum gelap semacam ini banyak bertingkah. Mereka memanfaatkan kondisi penumpang yang terdesak oleh waktu atau keadaan untuk menentukan tarif sesuka hati mereka. Namun guyuran hujan yang pada akhirnya mendorong Setyo membuat keputusan. Naik.

“Rambang, Mas?,”sang Sopir bertanya ketika Setyo telah duduk di dekatnya.

“Saya Kragan Pak...,” jawab Setyo sambil menarik keluar plastik berisi beberapa berkas surat yang disembunyikan di dalam bajunya.

“Saya hanya sampai Rembang,”sang sopir mengharapkan persetujuan Setyo.

“Gak apa-apa, Pak,” Setyo menangguk menyetujui.

Perjalanan pulang pergi Rembang-Semarang dalam sehari tidaklah mudah. Selain masalah mencari angkutan, tenaga pun ikut terkuras. Setyo berangkat dari Rembang pagi hari sebelum fajar menyingsing. Itu pilihan terbaik agar bisa tiba di Semarang sebelum ujian dimulai pukul sembilan pagi. Sekarang, ia baru bisa menemukan kendaraan untuk kembali.

Mengikuti ujian seleksi beasiswa guru matematika bukan juga pilihan hatinya. Kepala sekolah yang memintanya. “Ini langka Mas. Biasanya hanya mereka yang bertugas di Rembang yang diberi kesempatan. Sekarang kita di Kragan justru diberi. Rugi kalau sampean tidak menerimanya,”ucap kepala sekolah menyemangati saat tawaran seleksi tiba dua minggu silam.

Lagipula, Setyo merasa tidak enak hati. Lis dan sepupunya serta Odin saat ini menginap di rumah kontrakannya. Hari ini acara lamaran adik perempuan Lis dilangsungkan. Tidak elok rasanya ia harus pergi meninggalkan tamu di rumahnya. “Maaf ya, aku harus ke Semerang. Aku tidak memiliki alternatif jawaban kepada Bapak Kepala Sekolah, jika tidak mengikuti seleksi ini,”Setyo mengungkapkan permintaan maafnya saat Odin mengantarnya ke tepi jalan raya pagi tadi.

“Santai. Lis...aman dalam kawalanku,”Odin menjawab sekenanya.

“Dasar...,”Setyo mendorong bahu Odin. Keduanya tertawa.

Setyo melihat ke bangku belakang. Hanya ada enam orang di dalam taksi gelap ini, termasuk dirinya. Seorang Ibu dan anak gadisnya yang duduk tepat di deretan bangku di belakang sopir. Seorang kakek dan seorang laki-laki seusia Setyo yang duduk di kursi paling belakang. Lalu sang sopir yang berada di sampingnya.

Sepintas, bayangan Ningrum melintas di pikiran Setyo. Gadis yang malang. Semoga ada kemajuan dalam kondisi kesehatannya. Pagi tadi Setyo telah mengirim sms, meminta bantuan Pak Naryo, untuk mengunjungi dan mendoakannya. Setyo sendiri berharap dapat mengunjunginya besok malam setelah menuntaskan puasanya di hari ke tiga.

“Mas, saya cuma sampai sini,”sapa sang sopir membuyarkan pikiran Setyo.

“Oh....iya Pak,”Setyo segera merogoh sakunya. “Berapa Pak?”

“Gak usah Mas. Sampean kan masih ke Kragan,”jawab sang sopir tersenyum.

“Waduh.....terima kasih sekali, Pak,”Setyo girang.

“Iya Mas. Hati-hati,”sang sopir menunjukan empatinya saat Setyo melangkah keluar.

Setyo melihat ke sekeliling. Rumah Sakit Umum Daerah Rembang. Tidak masalah. Benar bahwa ia membutuhkan sedikit energi untuk berjalan beberapa meter, kembali mencapai jalan raya utama. Namun kebaikan yang telah diterimanya dari sang sopir taksi gelap benar-benar menyentuh perasaannya. Perasaan untuk selalu berbagi.

“Setyo....!,” seorang laki-laki melambaikan tangannya dari arah teras rumah sakit. Setyo berjalan masuk halaman rumah sakit. Melebarkan senyum dan menjabat tangan laki-laki yang memanggilnya.

“Apa kabar Dokter Ben? Piket?,”suara Setyo riang.

“Baik,” sang dokter tersenyum dan menyambut jabatan Setyo. “Aku gak piket. Ada panggilan mendadak. Biasalah. Namanya juga dokter. Harus siap duapuluh empat jam kan?”

“Luar biasa,”Setyo memuji.

“Kamu sendiri darimana malam-malam begini? Tumben lewat rumah sakit.”

“Dari Semarang. Biasalah. Namanya juga guru SD.” Tawa kedua laki-laki itu terdengar.

“Kata Lis, kamu test untuk beasiswa studi lanjut. Benarkah?”

“Semacam itulah. Ini baru selesai.”

“Syukurlah. Jam berapa kamu dari Semarang?”

“Jam sebelas lewat....”

“Jam sebelas lewat? Bercanda. Ini baru jam setengah dua belas,”Dokter menunjukan arlojinya. Setyo melihat jam tangan yang melingkar di tangan kiri sang dokter. Benar. Jam setengah dua belas. Apakah tadi dirinya salah melihat penunjuk waktu saat berdiri di depan Lawang Sewu?

“Tugas mendadak apa Dok, malam begini?,” Setyo bertanya saat keduanya berjalan menyusuri lorong kecil, menuju ke lokasi bangsal paling belakang rumah sakit.

“Ada kecelakaan tadi. Mini bus bertabrakan dengan troton. Empat penumpang dan sopir semuanya tewas,” Dokter Ben menjelaskan. Keduanya mendekati pintu bangsal. “Kamu tidak takut kan menemaniku ke ruang mayat?,” Dokter Ben menatap Setyo. Menggoda.

“Buset. Apakah aku terlihat seperti anak sekolahan?,” Setyo tertawa.

Beberapa perawat dan petugas nampak di dalam ruang mayat rumah sakit. Beberapa dari mereka memeriksa kondisi korban tabrakan dan beberapa lagi membersihkan luka dari jenasah yang terbaring kaku dan dingin. Setyo berdiri di samping dokter Ben yang berbicara dengan para perawat. Di depannya terlihat jenasah lima orang korban tabrakan. Seorang ibu dan anak gadisnya yang dibaringkan berdekatan. Seorang kakek. Seorang laki-laki sebaya usianya. Lalu seorang laki-laki lagi yang terbaring paling jauh dari tempatnya berdiri. Meskipun sebagian wajahnya tertutup darah bekas kecelakaan, Setyo mengenalinya. Sopir mini bus yang ditumpanginya beberapa menit lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun