Mohon tunggu...
Rommi Ariesta
Rommi Ariesta Mohon Tunggu... -

Tangisan pertamanya terdengar di Pulau Bangka, pernah berguru di bandung selama 6 tahun, kini tinggal bersama istri tercinta di Depok. Ingin sekolah keluar negeri, punya bisnis sendir dan membagi yang dimiliki.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jadi Koruptor Tak Perlu di "Tempat Basah"

24 November 2009   13:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:12 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kita mungkin sudah hampir muak mendengar kata-kata "KORUPSI". Belakangan ini riuh diperbincangkan. Dari pagi hingga tidur lagi, seolah kata tersebut tak pernah berhenti jadi topik bincang-bincang. Bahkan bisa dikatakan menjadi topik yang selalu menjadi berita utama media massa.

Banyak orang bilang, korupsi telah merasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di republik merah putih ini. Mulai dari pejabat berdasi dandanan necis hingga pegawai serabutan dikantor pun melakukan hal yang nampaknya sudah lumrah ini.

Kasus perampokan uang rakyat melalui Bank yang kini bernama Bank Mutiara (Eks Bank Century) yang belakangan ini heboh adalah sebagai contoh korupsi berskala besar. Kasus ini diekspos oleh media hingga banyak rakyat indonesia bisa melihatnya. Lalu bagimana dengan kasus korupsi kecil-kecilan yang tidak terlihat.

Sebenarnya kasus korupsi tidak hanya terjadi dalam sekala yang besar oleh orang-orang yang notabene nya berpendidikan cukup tapi juga di lakukan oleh orang yang tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi.

Kira-kira dua minggu yang lalu kasus korupsi yang dilakukan oleh staf umum, yang saya yakin, paling tinggi mungin ia hanya berkesampatan duduk di bangku SMA. Ia (perempuan), sebut saja namanya Dona, melakukan penipuan terhadap seluruh rekan sekantor, hampir sebagian besar lulus kuliah (sarjana).

Modus yang ia lakukan ialah berpura-pura meminta sumbangan sukarela untuk salah seorang teman kerja yang baru saja melahirkan, kita panggil saja nama samarannya dengan Miska.

Seperti biasa, Dona memang staf serbaguna yang biasa menolong. Terkandang ia bertugas melakukan foto copy, kirim fax dan perkerjaan yang membatu karyawan dalam bekerja. Dia pula yang memang sudah ahli dalam hal mengumpulkan sumbangan untuk kematian, pernikahan, dan kelahiran.

Selama ini memang tugas itu dipercayakan padanya. Sampai suatu saat diketahuilah, Miska tak pernah mendapatkan kado dari hasil uang saweran seluruh rekan kerja sekantor.

Saya sendiri yang iseng-iseng dibantu dengan beberapa teman melakukan penelusuran. Mengkonfrontir pernyataan Dona dengan bagian HRD.

Dari staf HRD didapat, dona mengatakan "Sumbangan untuk Miska tidak ada, tak satupun orang dikantor ini yang menyumbang". Jadi Dona mengembalikan form daftar nama penyumbang dalam keadan bersih dari nama. Memang, hampir sebagian besar orang ketika menyumbang tidak pernah menuliskan namanya. Hanya memasukkan duit ke dalam amplop sumbangan.

Dona ketika dimintai keterangan, bak para koruptor kakap, juga berkilah. Dia bilang ke saya "Dana yang terkumpul cuma 25 ribu". OK lah kalau memang segitu. Tapi dari situ kecurigaan saya muncul, apa iya dari lebih dari 60 orang dikantor yang terkumpul cuma 25 ribu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun