Mohon tunggu...
romensy augustino
romensy augustino Mohon Tunggu... Jurnalis - bermanfaat

Mahasiswa Etnomusikologi, suka banget sama Anime Slam Dunk. Sering sarapan Bubur Ayam dan suka sekali makan mie ayam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagian dari Kita

31 Mei 2018   22:07 Diperbarui: 31 Mei 2018   22:12 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kingof Baking adalah satu-satunya film drama korea yang membuat saya terkesan.  Pertama kali ditayangkan di Korean Broadcasting System (KBS) dari tanggal 9 Juni 2010 hingga tanggal 16 September 2010. Drama ini pernah ditayangkan di stasiun tv swasta Indonesia yaitu, Indosiar dan pada tahun 2012 ditayangkan kembali di Indonesia oleh ANTV namun akhirnya ditayangkan ulang oleh Global TV. Menceritakan sebuah kisah seorang "anak haram" seorang prisdent direktur perusahaan roti besar di korea. 

Kim Tagoe menemukan tujuan hidupnya untuk menjadi raja roti nomor satu ketika ia telah bekerja di sebuah toko roti bernama Paibong Bakery. Toko yang bernuansa sangat kekeluargaan, dimana pekerja dan pemilik bekerja bersama, makan bersama, hingga tertawa, dan menangis  bersama. Roti tidak melulu bagian dari pencukupan kehidupan, dan pemuas kelaparan tetapi roti adalah kehormatan dan juga cinta.

Begitu indah sebuah alur cerita drama layar kaca yang membius saya untuk membolos sekolah ketika itu.  Namun cerita tetaplah sebuah angan-angan belaka, karena dunia nyata tidak lah seindah cerita layar kaca. Roti sangat lekat dengan kerja dengan durasi waktu yang sangat panjang, api yang menjilat kedua tangan, atau terkadang jemari yang tergiling oleh mesin pengaduk adalah bagian-bagian dari realitas sebuah aktivitas pabrik roti. Pabrik ini bukanlah pabrik roti besar berlatar belakang sejarah layaknya Ganeps ataupun Orion. Tetapi ini adalah pabrik "Home Industri" dimana para pekerjanya sama sekali tidak mendapatkan jaminan atau asuransi kesehatan.

Tak jauh berbeda dengan pabrik roti, keberadaan besalen sebagai tempat pembuatan gamelan pun terasa sama. Bahkan seorang I Wayan Sadra dalam sebuah maha karyanya berjudul "Daily" mencoba menggambarkan bagaimana susah dan berkeringatnya membuat sebuah gong. Gong yang selalu menjadi simbol atas kehormatan dan kesakralan masyarakat jawa.

Gong tidak bebrbentuk layaknya gitar spanyol yang selalu diibaratkan dengan kemolekan seorang gadis. Ia tidak juga disejajarkan dengan biola yang mempunyai suara yang menyayat. Tapi memang disitulah letak keindahan sebuah Gong, gong yang hanya berbentuk layaknya dada yang menonjol dengan suara yang cukup dengan gungngngng. Tetapi merupakan bagian penting dari sebuah ensemble gamelan dan masyarakat pemiliknya. Sebab Estetika tidak hanya membahas tentang nilai estetis, pengalaman estetis, status ontologis karya seni, hubungan antara seni dan masyarakat, dsb (Suryajaya, 2016:3).

Musik dan masyarakat pemilknya adalah dua hal yang tidak akan bisa dipisahkan. Jazz tidak akan bisa dipisahkan dengan orang kulit hitam amerika, dan gamelan yang tidak bisa dipisahkan dari kultur budaya jawa. Keduanya melekat mengisi sisi demi sisi dari sebuah aktivitas kehidupan. Maluku menjadi bukti sahih dimana musik adalah salah satu media pendamaian konflik.

Konflik yang terjadi sejak 19 Januari 1999 hingga akhir tahun 2004 memberikan dampak luar biasa terhadap berbagai aspek kehidupan. Bukan hanya kerusakan bagunan, tetapi juga berdampak pada aspek ekonomi dan akhirnya masyarakat menderita kemiskinan.

Proses rekonsiliasi dengan berbagai pendekatan mencoba dilakukan. Ada berbagai pendekatan dan media penyelesaian konflik, seperti pendekatan keamanan dengan melibatkan peran aparat keamanan (TNI dan POLRI) dalam melerai masa yang berkonflik, pendekatan perundingan, dialog atau mediasi konflik oleh pemerintah dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat. Musik Maluku pun dihadirkan dalam dialog-dialog antara kedua kelompok yang berkonflik.

Pengakuan mengenai adanya hubungan musik lokal Maluku dalam upaya penyelesaian konflik dan mewujudkan perdamaian di Maluku juga
terkuak dari cerita para peserta kegiatan Focus Group Discussion- FGD- yang diselenggarakan oleh Yayasan Baileo Maluku pada hari Jumat, 19 Juli 2013 di Caf Excelso -- Ambon. FGD itu membahas mengenai: peran masyarakat sipil dalam mendorong re-integrasi sosial masyarakat di Maluku. 

Junus Jeffry Ukru selaku Direktur Yayasan Baileo mengakui bahwa dalam pengalamannya mengupayakan reintegrasi, musik dan nyanyian atau lagulagu orang basudara seperti, Gandong e, Ale Rasa Beta Rasa, Sio Mama, Hidop Orang Basudara, Beta Berlayar Jauh, selalu dibawakan pada momen awal dari setiap perjumpaan antar masyarakat yang pernah berkonflik. Dengan menyanyikan lagu-lagu tersebut di awal suatu pertemuan, ketegangan dalam perjumpaan menjadi sangat mudah dicairkan, dan dialog pun dengan sendirinya dapat berjalan secara baik. 

Sebagai contoh, ketika perundingan hendak dimulai kedua belah pihak yang masih datang dengan emosi konflik biasanya saling menuding siapa yang salah dan siapa yang benar. Dalam ketegangan seperti itu, aktor-aktor mediator biasa secara spontan membawakan lagu seperti hidup orang basudara, gandong e, dengan instrumen tifa, sehingga ketegangan berganti dengar suara bersama menyanyikan lagu-lagu itu (Ukru, wawancara, 19-07-2013 dalam Lestari, 2017:13-14).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun