Mohon tunggu...
Romel Krismanto Malensang
Romel Krismanto Malensang Mohon Tunggu... Lainnya - Analis Keimigrasian Pertama

Riwayat Pendidikan: SDN 1 Poyowa Kecil (1997); SMP N 1 Kotamobagu (2003); SMK N 1 Kotamobagu (2006); Fisip Universitas Sam Ratulangi (2009); Pascasarjana Fisipol Universitas Gadjah Mada (2013).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Representasi Bagi Kelompok Difabel

29 Mei 2015   15:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:28 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Representasi menjadi isu yang sangat krusial untuk diperbincangkan karena representasi ini berkaitan dengan ruang yang diberikan negara kepada kelompok-kelompok tertentu. Ruang tersebut menjadi sangat penting khususnya terkait dengan keberadaan kelompok-kelompok marginal. Salah satunya adalah kelompok difabel (people with different ability) atau yang oleh beberapa orang disebut penyandang disabilitas (people with disabilities) atau penyandang cacat.

Perhatian terhadap kondisi difabel di negara ini terkadang sangat terbatas pada bagaimana pemenuhan hak dijalankan oleh negara, seperti hak dalam bidang pendidikan, kesehatan, hak lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya. Namun ada persoalan lain yang juga penting, seakan terabaikan dalam membicarakan kelompok difabel ini yaitu persoalan representasi. Melebarnya pembahasan dalam wacana disabilitas tidak hanya terkait pada isu pemenuhan hak semata namun juga pada isu representasi menunjukkan bahwa pada dasarnya kelompok difabel dapat diakomodasi melalui banyak macam pendekatan, bukan hanya sekedar dengan pendekatan sosial-budaya, namun dapat juga melalui pendekatan politis. Walaupun demikian, isu representasi dalam perjalanannya sampai saat ini masih menemui banyak tantangan.

Kondisi difabel yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan ditambah dengan jumlah mereka yang minoritas, membuat mereka terkadang tersisih dari pentas demokrasi negeri ini. Pemenuhan kebutuhan – kebutuhan yang mengakomodasi kepentingan mereka seringkali hanya dianggap angin lalu. Tidak jarang kepentingan – kepentingan tersebut diabaikan karena memang dianggap tidak penting. Oleh karena itu perlu adanya representasi yang memang benar – benar bisa membawa kepentingan difabel ini. Atau bahkan bisa menaikkan posisi tawar difabel.

Permasalahan lain muncul ketika terjadi perdebatan diantara difabel itu sendiri mengenai siapa yang pantas menjadi representasi difabel? Apakah oleh difabel itu sendiri? Karena bagi kelompok yang pro pendapat ini menganggap bahwa permasalahan mengenai difabel hanya bisa dipahami dan diselesaikan oleh difabel dengan cara mereka sendiri.Ataukah mereka bisa diperjuangkan oleh orang non difabel? Alasannya karena tidak penting siapa aktor yang memperjuangkan apakah difabel atau non difabel, yang terpenting adalah bagaimana isu tersebut tersalurkan.

Pembahasan ini sekali lagi membuka ruang diskusi yang lebar mengenai tipe representasi apa yang ideal diterapkan bagi kelompok difabel dewasa ini.

Representasi: Salah Satu Cara Perjuangan Difabel

Semakin meluasnya cross cutting issue pada difabel mengindikasikan bahwa alat perjuangan yang digunakan difabel pun semakin meluas. Pada awalnya difabel sudah puas ketika kebutuhan hidup dasar mereka seperti kebutuhan akan alat bantu, kebutuhan jaminan kesehatan, kebutuhan pendidikan yang inklusif, kebutuhan akan kepastian alokasi di setiap lowongan pekerjaan sudah dapat dipenuhi oleh negara. Namun muncul kegelisahan cerdas diantara difabel yang memang mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi setingkat SMA maupun perguruan tinggi, bahwa difabel tidak bisa hanya pasif untuk menunggu semua kebutuhan-kebutuhan mereka tercover oleh pemerintah. Mereka harus tetap aktif memperjuangkan kepentingan mereka tersebut.

Perjuangan agar terpenuhinya kepentingan difabel ini dilakukan di dalam dua ranah. Yang pertama adalah ranah negara, dalam ranah ini ada beberapa cara yang sering dilakukan. Pertama, difabel ini akan masuk dalam setiap proses kebijakan publik yang dilakukan oleh negara yang berkaitan dengan kepentingan difabel mulai dari ikut menyumbangkan gagasan dalam proses agenda setting, aktif dalam formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, monitoring kebijakan hingga evaluasi. Ataupun yang kedua, mereka menjalankan fungsi pengawasan atas apa yang dilakukan oleh negara. Apakah sudah ramah difabel atau belum. Misalnya pengadaan transportasi umum, mereka akan fokus pada apakah layanan tersebut bisa diakses, dan kemudahan apa yang berhak diterima oleh difabel.

Di ranah masyarakat, mereka mencoba melakukan penyadaran ke kampung – kampung bahwa pada dasarnya difabel tidak berbeda dengan non difabel maka dari itu mereka tidak perlu di diskriminasikan. Mereka juga akan masuk ke komunitas – komunitas yang ada di masyarakat agar sosialisasi lebih mudah dilakukan.

Menariknya, di tahun 2014 ini yang oleh kebanyakan orang disebut sebagai tahun politik, mulai bermunculan calon anggota legislatif yang mengusung isu difabel sebagai isu kampanye mereka. Alasan mereka sederhana. Perlu ada perluasan mengenai tata cara perjuangan isu difabel. Cara – cara lama seperti masuk dalam proses kebijakan dan sosialisasi di masyarakat akar rumput tetap tidak ditinggalkan hanya saja dibuka pola perjuangan yang berbeda yaitu masuk ke ranah legislatif sehingga peraturan – peraturan pemerintah dapat lebih didorong untuk ramah difabel.

Saat difabel bersepakat untuk melebarkan sayap perjuangan mereka, muncul pertanyaan baru mengenai siapa yang pantas berada di garda terdepan untuk memimpin perjuangan difabel ini sendiri? Apakah itu difabel? ataukah orang non difabel?

Permasalahan Difabel hanya Difabel yang Paham, Benarkah?

Mainstream dalam membahas gerakan kelompok difabel adalah representasi deskriptif. Pandangan ini menegaskan bahwa orang yang berhak merepresentasikan kepentingan difabel adalah difabel sendiri. Mereka berpendapat bahwa orang – orang non difabel tidak bisa merasakan dan bertindak sesuai dengan apa yang difabel rasakan. Karena adanya perbedaan pengalaman dan pandangan hidup juga menjadi alasan yang diusung pada aliran ini. Banyak LSM-LSM penggiat gerakan difabel yang getol menerapkan prinsip ini. Hal ini tercermin dalam setiap kegiatan – kegiatannya.

Pada saat mereka melakukan sosialisasi ke masyarakat dan melakukan pendampingan pada kelompok difabel (baik difabel baru maupun difabel sejak lahir), maka orang yang akan diterjunkan langsung adalah difabel. Selain itu, penerimaan difabel pada seorang difabel akan lebih terasa karena mereka merasa satu nasib. Pada difabel yang mengalami gangguan mobilitas, maka mereka akan lebih menerima difabel dengan gangguan mobilitas sebagai teman sharing satu sama lain, begitu juga dengan difabel lainnya.

Ketika melakukan aksi demonstrasi pun, mereka akan lebih ‘memasang’ difabel sebagai salah satu bentuk mencari perhatian publik atas isu yang mereka bawa. Sebagai contoh, salah satu LSM di Yogyakarta bahkan memasang benteng saat peringatan International People with Disability Day 2013. Mereka tidak ingin bekerja sama dengan LSM non difabel maupun dengan orang – orang non difabel. Mereka beranggapan bahwa kegiatan apapun yang berkaitan dengan difabel hanya boleh melibatkan difabel. Karena ketika melibatkan orang – orang non difabel, posisi difabel justru tergeser dan terdiskriminasi karena mereka merasa ada di posisi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan orang – orang non difabel.

Hanna F. Pitkin dalam bukunya The Concept Of Representation (1967), juga menjelaskan mengenai pola representasi seperti ini saat orang dengan “exact portrait and mirror from the represented” akan lebih bisa diterima karena mereka akan berfikir, merasakan, beralasan dan bertindak sesuai dengan apa yang diwakilinya. “They will stand for them”. Saat mereka berdemonstrasi dan mengatakan bahwa “Kami atas nama difabel menuntut adanya sarana dan prasarana yang ramah untuk difabel”, itu berarti memang mereka membawa kepentingan difabel dan kepentingan mereka sendiri untuk diperjuangkan. Tetapi yang menjadi kelemahan dalam representasi deskriptif ini adalah tidak semua aktor difabel representatif membawa kepentingan dari orang yang mereka representasikan. Tidak ada alat penjamin yang mampu memastikan bahwa representatif difabel akan selalu membawa kepentingan difabel baik dalam ruang dan waktu yang berbeda.

Bagi difabel, saat mereka menyatakan bahwa perjuangan difabel hanya bisa di jalankan oleh difabel saja, maka sebenarnya mereka sudah mengeksklusikan diri mereka sendiri. Mereka memisahkan diri dari kehidupan sosial. Semangat inklusi sosial hanya mereka jadikan sebagai wacana semata tanpa dijalankan dalam kehidupan nyata. Karena pada realitanya kelompok difabel masih terkotak – kotak, dan kotak – kotak tersebut semakin dipertahankan ketika dalam ruang representasi mereka hanya mau diwakili oleh ‘mirror’ mereka.

Keberhasilan bukan Terletak pada Aktor, tetapi pada Subtansi

Aliran lainnya mengungkapkan bahwa sudah bukan jamannya lagi saat isu tentang difabel ini hanya dijalankan oleh difabel sendiri. Dan pendapat seperti itu dianggap sebagai pendapat yang kuno dan ketinggalan jaman. Saat ini adalah saatnya gerakan diperjuangkan oleh orang – orang yang lintas kelas sosial. Jadi ketika ini merupakan gerakan yang memperjuangkan isu difabel maka gerakan ini terbuka lebar dan seluas – luasnya bagi orang – orang yang ingin berpartisipasi dan ikut andil dalam memperjuangkan kepentingan difabel. Representasi model ini disebut dengan representasi substantif. Tidaklah terpenting siapa yang membawa isu difabel ini, apakah itu difabel sendiri atau non difabel. yang terpenting adalah ketika aktor yang merepresentasikan betul – betul bertanggung jawab untuk membawa kepentingan/ide yang diusung menjadi ide bersama yang disepakati difabel ke dalam area kebijakan publik. Orang – orang non difabel yang memang concern terhadap isu difabel, mereka akan sungguh – sungguh mewakili difabel dalam arena yang mereka perjuangkan karena mereka akan acting for them.

Konsepsi dasar representasi substansif adalah representasi merupakan a way of acting for someone. Berbeda dengan ketika aktor yang merepresentasikan difabel memposisikan diri sebagai a way of standing for someone. Ketika seorang difabel memposisikan diri standing for them maka sudah tentu mereka akan bisa mengartikulasikan kepentingan – kepentingan mereka dengan baik. Tetapi artikulasi mereka hanya akan berhenti pada permasalahan yang mereka alami saja. Di satu sisi saat ada orang lain yang mengfungsikan dirinya sendiri acting for maka hal ini akan memunculkan derajat pemahaman yang berbeda terhadap isu difabel. Karena isu difabel ini justru dipahami dan dibawa oleh orang non difabel, maka mereka dapat bertindak sebagai pengganti difabel di dalam ruang – ruang representasi, mereka bisa saja sebagai orang yang memang dipercayai mampu membawa isu tersebut di ranah level yang berbeda atau karena mereka memang dianggap ahli pada bidang itu. Pada saat inilah maka inklusi sosial dapat tercapai.

Catatan Penutup

Memperingati Hari Internasional Penyandang Disabilitas yang kita rayakan setiap tanggal 3 Desember, menjadi sebuah momen untuk merefleksikan dan mengevaluasi kembali pola representasi kelompok difabel saat ini. Representasi bukanlah permasalahan difabel mewakili difabel, tetapi adalah permasalahan derajat keterwakilan antara orang yang direpresentasikan, kepentingan yang dibawa dan orang yang merepresentasikan. Menjadi tanggung jawab orang yang merepresentasikanlah isu dari the represented. Saat non difabel bisa memahami posisi difabel dan memperjuangkan kepentingan difabel maka saat itulah inklusif sosial dapat tercapai. RKM&IAI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun