Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kerlip Kunang-Kunang di Cabean Kunti

28 Januari 2022   15:21 Diperbarui: 28 Januari 2022   15:30 1717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Picarts

Napas Murtiah masih terengah-engah. Ketakutan dan rasa cemasnya belum hilang. Tenaganya terkuras habis usai menggerus timbunan tanah bercampur darah serta menyingkirkan mayat rekan-rekannya yang berbau anyir. 

Telapak tangan serta jemarinya linu dan perih. Berondongan peluru dari moncong bedil tentara mengoyak kulit sekaligus merusak jaringan otot serta organ tubuh mereka. 

Dilubang berukuran 1,8 meter dengan kedalaman 1 meter ia bersama tahanan lain bertumbangan bak ilalang dihajar sabit petani, tersungkur mencium bumi. Kepasrahan pada Tuhan menuntun dirinya pada takdir ini.

Sebelum eksekusi, komandan tentara melempar saran,"Berdoalah sebisanya sebelum peluru kami mengirim roh kalian bertemu Tuhanmu. Cepat!"

Segera dengung doa membumbung di udara malam. Bersamaan dengan itu, lengking burung gagak memutar balada sebagai tanda kesedihan. Suara adzan keluar dari bibir satu diantara calon mayat.

Dari mulut Murtiah terlantun ayat-ayat suci Al Qur'an sebagai pengiring untuk meninggalkan dunia fana. Doa belum usai, ledakan pelor menyentak dari tempatnya, merobek kesunyian meninggalkan bau mesiu basah. Namun takdir berkata lain, tak ada satu peluru yang mengoyak kulit Murtiah- meleset. Tubuh rekannya menjadi bemper. 

Bersamaan dengan muntahan peluru yang menghambur, tubuhnya terdorong. Telinganya masih sempat mendengar ucapan komandan tentara itu,"Cepet ndang diuruk. Rasah apik-apik, ketok e iki meh udan. Bariki balik markas. Aku wes ngantuk"(cepat segera ditimbun. Tidak usah rapi-rapi, kelihatannya mau turun hujan. Sebentar lagi kembali markas. Saya sudah mengantuk)

Suara hempasan tanah nyaring ditelinga...brek...brek...brek, bertalu-talu mirip derap sepatu lars. Bau amis darah bak tembaga basah menguar, merangsek penciuman hingga memaksa perutnya mual. Murtiah butuh udara segar setelah beberapa jam didekap timbunan berat. 

Tangannya terus merayap keatas, mencabik liatnya tanah hingga upaya itu berhasil. Kepalanya menyembul dari gundukan yang dibuat serampangan. Rambutnya awut-awutan, wajah belepotan bercampur dengan segala kotoran. 

Merangkak kepayahan merupakan amunisi agar dirinya tetap hidup. Ia penuhi paru-parunya dengan udara. Keningnya berdenyut-denyut. Kepalanya berat untuk diangkat. Ia tergeletak. Tetes air menyapu wajahnya. Langit malam membantu agar raganya tersamar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun