"Hei, Andreas. Saya tunggu kabarmu. Sudah 3 bulan, kok baru hubungi sekarang?"
"Maaf, pak. Beribu maaf"
"Bagaimana? Bisa hubungkan dengan ayahmu. Aku ingin melihat wajah beliau"
Lama tidak ada balasan. Dengung suara masih menyala.
"Halo, Andreas..."
Masih saja tidak ada jawaban. Keheningan ini mirip suasana malam kala aku mencari para pengembara papa.
"Ayah sudah meninggal, pak". Suara Andreas disana merintih. Ada beban yang ingin ia keluarkan. Aku tercekat. "Barusan tiga hari yang lalu. Sekali lagi maaf, pak. Baru bisa memberi kabar sekarang"
lidahku kelu, dayaku hilang seperti dikunci.
"Ayah bahagia ketika amanatnya tersampaikan. Apalagi melihat foto bapak. Ayah tidak pangling. Cuma beliau bilang wajah bapak dipenuhi kerutan". Suara diseberang menggelontor lancar. Aku terpaku. Helaan napas hingga gestureku menarik perhatian rekan seprofesi.
"Semoga amal ibadah ayahmu diterima Tuhan, Ndre", lirihku pilu.Suara diseberang hanya berupa isak tangis-sedu sedan. Andreas menutup pembicaraan. Ia gagal menahan tumpahan airmatanya.Â
Begitupun aku. Kabar barusan membuat diriku mematung. Pikiranku gentayangan mencari wajah pak Jauhari agar jelas terlihat. Sayang, semuanya kabur, menggelap, mirip malam yang sering aku lalui bersama kayuhan sepeda.[Selesai]