"Iya, mas. Semenjak wabah datang penumpang semakin jarang"
"Becaknya milik sendiri?"
"Iya, mas"
Bapak itu membantuku membangunkan rekan-rekannya yang tertidur pulas. Balutan sarung apek melindungi mereka dari sengatan nyamuk serta udara malam. Kegembiraan melekat ketika tangan mereka menggenggam pemberianku. Itu uang merah dari Pak Jauhari.Â
Selama hidup belum pernah aku mempunyai uang sebanyak itu. Setengahnya aku putuskan untuk dibagi pada kaum tuna. Dengan nilai segitu aku bisa hidup sederhana dua tahun tanpa kerja. Â
Aku menghela napas. Pikiran melalang berkelindan tanpa tangkapan. Anak muda dihadapanku hanya menatapku. Ia menunggu sesuatu keluar dari mulutku.
"Bagaimana kabar, pak Jauhari?"
Wajah Andreas tertunduk. Aku menduga ada hal menyedihkan menimpa mantan tutorku.
"Ayah sakit stroke. Sudah sepuluh tahun, pak"
"Innalillahi....", lirihku
"Ayah meminta kami untuk mencari keberadaan muridnya, yaitu bapak"