Bagi masyarakat Jawa, terkhusus Jawa Tengah dan Jawa Timur, kata Kliwon sudah begitu akrab di telinga. Diambil dari penanggalan Kalender Jawa. Sekumpulannya yaitu Wage, Legi, Pahing, Pon (Pancawara-siklus pasaran).Â
Dalam khazanah kehidupan masyarakat Jawa, penanggalan merupakan bagian dari putaran hidup sehari-hari, terutama generasi terdahulu, seperti kakek nenek hingga ibu saya.
Mereka selalu melihat kalender Jawa bila akan melakukan kegiatan atau ritual tertentu. Beberapa di antaranya adalah jika mau bepergian jauh selalu menghindari agar tidak melaksanakan bertepatan di hari kelahiran. Contoh, jika lahir pada Senin Pahing, pantang bepergian di waktu itu. Entah apa sebabnya, sampai sekarang saya tak tahu persis.
Tapi berjalanannya waktu, hal demikian sudah kami nafikan. Mungkin karena orangtua kami dan para leluhur telah hijrah ke dimensi lain, sehingga kami menabrak segala hal yang dulu pernah ditabukan menyelubungi lingkar kehidupan.Â
Modernitas dan corak hidup kontras yang beda zaman membuat saya pribadi sudah tidak tertarik dengan hal-hal itu. Hingga suatu ketika, telinga saya menangkap kembali kata Kliwon dari rekan membahasnya dalam topik pembicaraan kami. Dan yang dijadikan perbincangan adalah masalah celana panjang hitam.
"Tenan yo, aku ora ngapusi"Â (iya benar, saya tidak menipu).
"Ora mungkin", jawab saya sedikit ngeyel.
"Suk kowe rono o pas Kliwonan. Nek aku ngapusi drijiku tugelen"Â (besuk kamu ke sana pas Kliwonan. Kalau saya menipu jemariku kamu putusin), balasnya.
"Yo opo ono, kathok dowo selawe ewu telu?"Â (ya apa ada, celana panjang dua puluh lima ribu dapat tiga?).
"Lha iki buktine aku tuku. Ngene lho, nek kowe tuku telu regane selawe ewu. Neng nek tuku siji regane sepuluh ewu"Â (lha ini buktinya aku beli. Begini lho, kalau kamu beli tiga harganya dua puluh lima ribu. Tapi kalau beli satu harganya sepuluh ribu).