Yang tidak berminat pada wisata batu, mungkin akan mencibir, "Watu e didelok. Kurangmen gawean" (batu saja dilihat. Kurang kerjaan)
Memang benar bagi mereka, tapi bagi yang minat pada peninggalan nenek moyang, inilah ladang pengetahuan.
"Alaaah... pengetahuan opo?"
Biarkan saja para penyibir. Mereka akan lelah pada akhirnya.
"Terlalu dini menyimpulkan, om."
"Kan tadi saya bilang 'Mungkin', jadi bisa saja benar atau meleset."
Karena tidak adanya petunjuk yang jelas, pengunjung hanya bisa mengapungkan 'dugaan-dugaan'.
Tumpukan lumpang yang diakui sebagai milik warga Nglurah dikumpulkan oleh para pemuda desa sebagai pengingat bahwa alat tradisional dari batu ini pernah mengalami masa keemasan sebagai alat penting bagi perempuan desa tersebut. Karena perkembangan jaman, akhirnya alat penumbuk itu ditinggalkan. Dibuatlah monumen untuk mengingat jasa si alat itu manakala diikutkan dalam mengarungi bahtera rumahtangga di tiap keluarga. Kalau presiden pertama negara kita, Ir.Soekarno bilang, Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah), di sini berlaku Jasmelumpang (Jangan sekali-kali melupakan alu serta lumpang). Boleh juga.
"Gampang, tong"
"Maaf, om. Nama saya bukan Tong, tapi Renaldi. Nama adalah doa. Jangan sembarangan manggil orang. Kasihan orangtua saya"
"Oh maaf, Ren. Jadi begini, dari terminal bus Tawangmangu, kamu lurus naik saja 200 meter arah timur. Nanti disebelah kanan ada jalan bertulis 'Nglurah'. Susuri saja jalan itu"
"Sepertinya gampang, om"