Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Sebelas Hari "Terperangkap" di GBK

13 Juli 2018   21:16 Diperbarui: 14 Juli 2018   18:08 2557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Antara Foto | ABDUL MALIK

"Chuck, gelem ngancani aku njogo stand buku neng GBK?" (Chuck, mau nemenin aku jaga stand buku di GBK?)
"Pirang ndino, Suf?" (Berapa hari, Suf)
"10 hari," ujar Yosef, "Tapi nanti dihitung 11 hari, karena sehari sebelum acara kita menata stand. Sama kantorku, perhari dirimu dibayar 100 ribu. Gelem ra?"
"Wis gelem." (Ya, mau.)
"Pikiren sik. Wektune ijek suwe." (Dipikir dulu. Masih lama kok.)
"Halaah, pokokmen gelem. Ra masalah 100 ewu sedino. Mangkat!" (Halah, pokoknya iya. Gak masalah 100 ribu sehari, berangkat!)

Tawaran itu langsung aku samber. Ini kali pertama job yang aku dapatkan berhubungan dengan dunia buku.

Ternyata ada penyebab kenapa job itu sampai ke aku. Yosef Effendi bercerita, biasanya teman sekantornya yang mendapat jatah. Sudah beberapa kali pameran mereka berdua siap mengawal stand. Tapi sejak kasus kehilangan laptop di pameran sebelumnya, temannya tersebut wegah. Trauma. 

Jadi, namanya musibah itu tidak pilih-pilih momen. Saya pikir, embel-embel Islam di event tersebut menjadi jaminan bahwa event tersebut nirkejahatan. Tapi ya sudahlah, pasti ada hikmah di balik sebuah peristiwa. Akhirnya Yosef merekomendasikan diriku ke bosnya. O iya, pembaca pasti mikir, nama temen saya Yosef Effendi, tapi kok manggilnya Suf? Itu panggilan dah lama dan paten. Kami pikir namanya Yusuf, ternyata di KTP bernama Yosef.

Apakah pembaca juga pernah mendengar atau mengetahui sebuah kalimat "Apa yang kita dapatkan saat ini, sebenarnya sudah kita pikirkan jauh-jauh hari" hubungannya dengan job ini, bahwa dulu pernah terlintas dipikiranku, Kapan ya sekali-kali jadi penjaga stand buku? Dan ternyata Allah SWT mengabulkan asaku.

"Chuck, bosku kepingin ketemu dirimu."
"Ok, siap!"

Bertemu dengannya merupakan interview singkat. Selanjutnya saya panggil bos W. Ternyata bos W itu dulu pernah tinggal sekampung denganku. Dia di ujung barat kampung, saya di ujung timur. Saya tidak begitu mengenal, karena mainku kerap di seberang. Darinya keluar beberapa penjelasan tentang seluk beluk pameran buku. Bahkan bos W menguatkan agar jangan mudah terkesima oleh penampilan seseorang.

Sebab, dari pengalamannya berkecimbung di dunia penerbitan, dirinya-dalam hal ini kantornya-beberapa kali terperdaya oleh pemesan yang hilang tanpa diketahui rimbanya-tidak bayar. Padahal tutur kata serta penampilannya meyakinkan. Mencari orang yang bisa dipercaya serta jujur sungguh sulit, itu ungkapan bos W. Kalimat tersebut seperti todongan laras panjang kepadaku. Tenang bos, Yosef sudah tahu rekam jejakku. Saya akan pegang kepercayaannya.

Keberangkatan telah dijadwalkan. Perjalanan kami berdua dari stasiun Balapan ke Jakarta diangkut oleh KA Argo Dwipangga. Sedang barang-barangnya (buku dan item pendukung) dikirim lewat perusahaan kargo. Sebenarnya, bos W minta kami naik KA Bengawan (kelas Ekonomi), tapi Yosef beralasan, "Bos, kalau naik Bengawan, turunnya tidak di Gambir".

Yosef kepinginnya jangan gonta ganti moda biar mudah serta cepat nyampe di lokasi. Dan benar, ketika turun stasiun Gambir tinggal naik TransJakarta sekali dah sampai ke GBK. Tapi ada alasan lain, kami ingin sesekali menikmati KA kelas eksekutif. Lagian yang bayar kantor.

Setelah berjam-jam di kabin kereta dengan tubuh dibebat selimut karena kedinginan (AC-nya sangar), saya sampai menggigil, padahal pakai jaket dan selimut yang disediakan KA, tibalah kami di suatu subuh. Stasiun Gambir menyambut tanpa ekspresi. Usai berjamaah di musholla stasiun, kami istirahat sebentar. Menunggu Jakarta terang. Karena terang sangat menyenangkan. Kota ini tidak asing bagiku. Antara tahun 1992 sampai 1996 saya pernah tinggal di wilayah bagian timur (Jakarta Timur). Biasa, cari remahan rupiah.

Adalah Islamic Book Fair 2013 yang berlangsung dari tanggal 1 Maret hingga 10 Maret 2013 di Istora Gelora Bung Karno, Senayan. Gelaran ini diklaim terbesar se-Asia Tenggara. Tajuk yang di gaungkan yaitu Menuju Umat Berkarakter Qur'ani.

Stand kami di zona kenanga dengan posisi hampir ke sudut tepatnya berhadapan dengan Stand Pro-U Media Jogja yang sedang mempromosikan buku terbaru karya Salim A Fillah "Menyimak Kicau Merajut Makna". Untuk menarik pengunjung sebuah sangkar burung baru di isi buku digantungkan di depan stand ditingkahi kicauan burung dari sebuah HP yang sekalian dikandangkan.

Kemudian buku karya Fuad Baradja (pemain sinetron Jin Dan Jun) berjudul "Hari Gini Masih Ngerokok.... Apa Kata Dunia" mengisi rak. Bahkan kedua penulis itu turun langsung menyapa, membubuhkan tandatangan di lembar bukunya.

Sebelahan dengan kami toko buku dari Surabaya. Otomatis kumpulane karo arek-arek Surabaya. Karena sebelahan, keakraban mudah terjalin.

Stand kami menyediakan buku-buku Islam hasil terjemahan penulis luar. Walau tidak semuanya, penulis dalam negeri juga kami terbitkan. Ukuran stand kami standar dan hanya sewa satu. Maklum, bukan penerbit besar. Tapi kami bahagia terutama saya. Beberapa peserta mendapat stand luas (apakah mereka memborong beberapa stand lalu dijadikan satu?) Bahkan ada yang mendapatkan 2 stand tapi lain lokasi (mungkin strategi dagang).

Ketika layar resmi berkibar pada Jum'at, 1 Maret 2013, dimulailah "persembahan" untuk menarik pengunjung. Tiap stand memaksimalkan penataan. Beberapa penerbit kelas berat mempunyai posisi stand yang gemerlap. Di antaranya Kompas Gramedia, Republika, Mizan, dan seterusnya. Wajar saja mereka mampu menyedot perhatian, karena selain kondang (siapa sih yang tak kenal mereka?) juga dipercantik pernak pernik serta hamparan buku dengan diskon lumayan.

Di hari pertama masih sepi melambai. Pengunjungnya sih sudah ada. Tapi stand kami belum diserbu. Ada pengunjung yang lihat dari luar, setelah itu permisi (mirip Monopoli,"Hanya Lewat").

Malam menjemput keramaian pun surut. Usai lapak ditutup kami berdua berembuk,

"Suf, kaya'nya letak penempatan buku kita keliru."

Yosef hanya diam, dia sepertinya juga mikir.

"Pengunjung sepertinya malu masuk atau enggan masuk kalau posisi seperti tadi."

Yosef mengiyakan. Akhirnya malam itu kami bongkar lagi tata letaknya. Arek-arek Surabaya sampai tanya, "Mbok kapakke standmu, Mas?" (Mau diapakan sih stand-mu, Mas?)
"Tak ubah posisine, Bro"

Posisi buku sebagian besar diletakkan di depan. Kemudian meja serta satu kursi diparkir di belakang (Yosef duduk di sini). Ada celah buat keluar masuk pengunjung guna mendapatkan buku yang terpajang di dalam. Sebelumnya Yosef posisinya mirip satpam yang menjaga pintu pabrik di depan. Jadi, pengunjung harus melewatinya. Mungkin ini yang membuat mereka kurang nyaman.

Ternyata dampaknya manjur. Hari kedua (Sabtu) beberapa buku kami pindah tangan masuk tas kresek. Pengunjung mulai melirik stand kami. Transaksi terjadi. Semakin siang kian mencerahkan. Hari ini pendapatan lumayan. Tapi saya mikir, mereka itu beli buku ingin tahu isinya. Kalau dalamnya sudah diketahui (walau sekelebat membaca) disitulah mereka akan menentukan pilihan, dibeli atau tidak. Buku kami sebagian besar di plastik wrapping. Jadi pembeli hanya bisa menilai dari kutipan di kover belakang.

"Sebaiknya beberapa buku bungkus plastiknya dilepas, Suf. Jadi mereka bisa membacanya."

Yosef mengangguk tanda setuju.

Ini momentum 10 hari. Kalau tidak dimaksimalkan rugi.

Sudah kali kedua saya di GBK. Sebelumnya di tahun 2009 saya pernah ke sini sebagai pemburu buku.

Saya dan Yosef mempunyai ritual selama "terperangkap" di GBK. Bangun pagi jelang subuh. Usai tunaikan sholat berjamaah menjelajahi seputaran GBK. Pagi-pagi lumrahnya makan atau minum, tapi kami jalan-jalan dulu mengitari Stadion Gelora Bung Karno. Biasanya hanya lihat lewat televisi, hari itu saya bisa menyaksikan secara dekat kemegahan stadion hasil rancangan Frederich Silaban. 

Mengitari satu kali cukup memaksa keringat bertimbulan nafas ngos-ngosan. Di sini, ada beberapa orang yang berlari mengelilingi stadion dengan mengumandangkan yel-yel. Sepertinya sebuah ungkapan ajakan bagi orang-orang agar masuk kerombongan "Ayo lari". Dilihat asik. Kalau sudah letih hentikan larimu. Tapi pasti ada yang masuk lagi. Riuh menarik. Suasana sekitaran stadion sangat mendukung. Pepohonan yang begitu rimbun mengundang burung-burung membuat sarang. Sepanjang waktu mereka semarak berkicau. Saya tidak menyangka kalau stadion GBK sedemikian megahnya. Indonesia kami bangga!

Di kompleks GBK ada warung yang menjadi jujugan kami serta para peserta pameran. Ada dua berdampingan. Dan mereka itu dikelola orang Jawa. Jadi kami seraya di kampung sendiri. Cuma kadang saya ketiban sial. Begini, kalau saya makan dengan lauk yang sama dengan Yosef, banderolnya bisa beda dikit.

"Suf, kowe dek mau mangan lawuhmu opo?" (Suf, tadi kamu makan dengan lauk apa?)
"Yo podo biasane. Sing ono tak ciduk". (Ya seperti biasanya. Yang ada, kuambil). Yosef menyebut lauk pauk beserta sayurnya.
"Kowe ditarik piro?" (Disuruh bayar berapa?)
"9 ribu"
"Aku kok 12 ribu?"
Yosef terkekeh-kekeh, "Wajahmu marai wajah wong sugih, Chuck." (Mukamu muka orang kaya sih Chuck.

Tapi yang membuat saya lebih menderita adalah minuman tehnya. Selama jaga stand saya harus puasa kenikmatan teh nasgitel. Di warung itu hanya tersedia teh celup. Lidahku protes.

Minggu hari ketiga sudah banyak diprediksi akan diserbu pengunjung. Dan benar, semakin siang pengunjung menyesaki koridor.

"Membaca tidak harus membeli," teriakanku mengapung di antara riuhnya pengunjung. Wajah-wajah antusias para pecinta buku menyiratkan optimisme-semoga dagangan kami laris manis tanjung kimpul.

"Silahkan dilihat dulu, mbak. Membaca tidak harus membeli. Kalau cocok baru dibeli," sebuah rayuan gombal dari penjaga stand.

Saya senang melihat keriuhan ini. Pengunjung dengan beragam maksud tersaring dengan sendirinya. Gelombang-gelombang silih berganti menelusuri koridor, riaknya masuk ke stand. Bau khas buku campur baur dengan keringat kecut-yang wangi juga ada-menguar di udara.

Selasa-jelang-siang Bos W datang bersama pegawai baru. Berbicara dengan kami, menanyakan progres penjualan, suluk kabar, kesehatan, kendala. Semua baik-baik saja, bos.

Selama pameran berlangsung, kami berdua mencari peluang untuk orientasi medan. Blusukan di seantero wilayah. Sambil mempelajari denah yang dibagikan gratis oleh panitia bagi peserta pameran sekaligus pemberian tanda pengenal. Di kemudian hari kami mengambil manfaatnya ketika satu dua pengunjung kebingungan (disorientasi medan). Denah tersebut menolong kami dalam menunjukkan arah kepada pengunjung.

Ternyata gaung IBF 2013 sampai ke Sukabumi, Cirebon, depok, Bogor, Tasikmalaya serta daerah penyangga. Karena di hari-hari mendatang stand kami dikerubuti pelajar-pelajar dari sebuah sekolah di Sukabumi.

"Pak, boleh nggak kami mengutip buku di sini?" beberapa pelajar putri mengerubungi stand.
"Boleh saja"
"Tapi kami nggak beli?"
"Nggak pa pa. Silahkan dipilih untuk dicatat"

Pengunjung kian menyesaki seantero pameran. Kekuatan AC yang terpasang ternyata luluh lantak oleh gelombang yang silih berganti berdatangan. Dinginnya surut dalam sekejab. Kalau pas malam usai lapak ditutup, kami merasakan sejuknya. Tapi kondisi ramai. Ampun deh.

"Dari mana dik?"
"Sukabumi, pak"
"Ini rombongan sesekolah?"
"Iya pak"

Suara dari panggung utama selama pameran berlangsung menerobos telinga. Publik figure menjadi pembicara di beberapa sesion. IBF 2013 menurut saya memang spektakuler. Kok kaya' martabak to mas?

Bila lapak telah ditutup-jam 21.00 WIB kami berdua menelusuri komplek GBK. Sekalian cari makan malam. Kami sadar, hanya siomay lah yang akan menyambut serta mengisi lambung, lainnya sudah tiarap. Disebuah plasa? (ada kaya pancuran tapi sudah mati?) menjadi lokasi favorit kami. Sebab, abang penjual siomay selalu nongkrong di situ. Dari perbincangan antara kami dengannya terungkaplah, bahwa si abang berasal dari Tasikmalaya. Sudah sekitar 3 tahun mengais rejeki di Jakarta. Dia jualan siomay dari seorang juragan.

"Pulang jam berapa, bang?"
"Nggak mesti. Kalau habis ya cepat (maksudnya cepat pulang) kalau belum laku ya masih keliling."

Busyeet! Padahal ini hampir mendekati jam 11 malam. Saya lihat siomaynya masih banyak dan masih panas. Yosef memasukkan potongan-potongan berbalut bumbu kacang dengan lahap ke mulutnya.

"Sebenarnya masuk ke sini nggak boleh. Tapi saya cari celah, kucing-kucingan ama petugasnya, Mas," ujar si abang.

Pikiran saya membayang di bawah kubah malam yang pekat, manusia itu jalan hidupnya unik serta mempunyai alur sendiri-sendiri. Kami, abang penjual siomay, mbak-mbak penjaga warung, arek-arek Surabaya, Salim A Fillah, Fuad Baradja, petugas parkir telah menunaikan tugas dan kewajibannya. Makanya kita tidak perlu protes pada Tuhan. Semua mempunyai peran masing-masing. Jangan merasa kecil diri jika dipandang profesinya nggak bonafide. Lagian, kita itu punya kehidupan yang harus disyukuri, orang lain sebatas hubungan sosial.

Selama menjalankan pekerjaan, posisi berdiri dan berteriak mendominasi tubuhku. Hal itu menimbulkan dampak kecapekan. Akibatnya usai tutup lapak kami kadang langsung tidur. Paling celaka lagi, jika dihinggapi mimpi basah. "Itu bukan celaka, mas. Tapi bagian dari rencana Tuhan agar sampeyan mandi malam".

Ya, benar juga. Tapi bisa kalian rasakan, sendirian di keheningan jegar-jegur keramas di toilet GBK. Tahu kondisinya? Beberapa di antaranya kurang memenuhi standar kebersihanku. Bau pesing kadang melintas-bisa tipis bisa tebal. Terpaksa saya guyur lagi hingga lenyap. Embernya saya kuras. Siap mandi junub jam setengah empat pagi.

Penerangan di toilet sangat terang. Jadi walau di beberapa titik dimatikan tapi khusus toilet dibiarkan kencar-kencar. Ada kebijakan, setelah jam 23.00 WIB pihak pengelola akan mematikan lampu di setiap stand, sekaligus AC-nya.

Berkutat dengan buku merupakan kesenangan tersendiri. Saya sudah mempetakan, mana lapak yang bukunya saya incar. Walaupun event ini berlabel Islam, tapi buku yang dijual tak semuanya harus bernafas ke Islaman. Sebab, saya menemukan beberapa novel umum ketika berburu di lapak teman-teman. Beberapa yang saya inginkan sukses terbungkus tas kresek. Tapi saya harus kalkulasi-sebab kadang kalap, karena ada rencana membelikan oleh-oleh buat ponakan: Kamus bahasa Arab-Indonesia dan kaos produksi kawulo Jogja (murah hanya 65 ribu).

Ada keinginan memborong buku. Begitu melimpahnya bisa membuat pengunjung lupa diri, termasuk saya.

Saya itu suka banget dengan bau buku yang baru dibeli. Bau kertas samar-samar tinta cetak menenangkan hati. Ah, masa'?

Tiga hari jelang penutupan adalah saat serbuan pengunjung paling mematikan. Puncaknya di hari Sabtu dan Minggu. Gelombang demi gelombang datang tak habis habisnya. Desak-desakan sesama pengunjung menjadi penanda betapa buku ternyata masih mendapat tempat di hati kita-kalau pameran gadget lebih heboh. Lapak kami merasakan berkah-Nya. Pundi-pundi terkumpul. Semuanya merasakan kucuran rejeki Tuhan. Semua lapak diobrak-abrik pemburu. Diskon yang gila-gilaan menyumbang kehebohan.

Di hari terakhir, Minggu 10 Maret, saya ambil peluang seusai sholat dhuhur ikut menjadi bagian pemburu buku. Lapak yang saya serbu berasal......

"Dari mana, mas?" tanyaku
"Jogja, Mas."
"Walah, tonggo dewe. Donya iki ternyata sempit. Aku seko Solo." (Walah, tetangga sendiri. Dunia ternyata sempit ya. Aku dari Solo.)

Mas se melihat tanda pengenalku.

"Lapak e sing pundi, Mas?" (Lapaknya di sebelah mana Mas?)
"Wonten ujung. Niki bablas mentok, belok kanan." (Di ujung. Ini terus mentok, belok kanan.)
"Dipun sekecak aken, Mas." (Oh ya mari silakan, Mas)
"O inggih." (Oh ya.)

Tanganku bergerilya di antara tumpukan buku. Sortir sana sini. Akhirnya dapat yang aku inginkan. Aku bayar dan langsung keluar dari impitan, sebab Yosef gantian akan sholat dan makan.

Minggu malam mendekati ujung hingar bingar. Masih ada pesta dibeberapa stand. Panggung utama menyeseleikan tugasnya. Akhir dari sebuah perhelatan: ada perjumpaan pasti ada perpisahan: Islamic Book Fair 2013 resmi ditutup. Surutnya gelombang menyisakan serpihan kenangan di hati setiap insan. 

Kami segera saja membenahi barang. Ada aturan, batas waktu meninggalkan arena adalah jam 00.00 WIB. Jadi barang-barang wajib segera dipak. Ternyata hanya tersisa 4 kardus besar. Padahal bawa dari Solo 16 kardus. Semua sibuk. Pekerja lapak berpacu. Kami mirip balatentara kerajaan yang akan melakukan peperangan. Akhirnya tuntas, tinggal menunggu mobil kargo yang akan membawa kembali ke kota asal. "Suf, wis kabeh?" (Suf, sudah semua?)

Yosef masih membenahi tasnya. Mobil kargo datang. Semua dimasukkan. "Hati-hati ya Pak."
"Ya, mas. Assalamu'allaikum..."
"Wa'allaikumsalam....."

malam kian meninggi, sebelum pergi kami pamitan sama arek-arek Surabaya. Jabat tangan terujud erat. Salam perpisahan dan kata-kata seremonial meletup.

Tak ada bayangan yang terbentuk sempurna di pelataran GBK. Lampu-lampu kota Jakarta mirip lilin yang menyala sebagai ungkapan perpisahan kami semua. Langkah kaki menuju halte bus yang ketika kami datangi gelap gulita. Mikrolet arah Senen menjadi wahana mengantarkan kelelahan yang ingin segera lelap. Kami harus segera mendapatkan penginapan biar raga segera tersenyum. Langit Jakarta mengawasi anak anak malamnya, mengingatkan masih ada esok bagi para pekerja dan petualang.

(selesai)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun