Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Lelaki di Bawah Kerlip Bintang

17 Mei 2018   13:02 Diperbarui: 17 Mei 2018   23:06 2755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (pixabay.com)

Lelaki itu mematikan ujung api-padahal masih setengah. Dia mengerti beberapa pengunjung terganggu oleh cendawan yang ia buat.

"Hidupku yang luntang-lantung sebagai preman dan keinginan melepaskan diri dari rutinitas kehidupan gelap telah tercium mereka. Hal ini menjadi daya pijak untuk merekrutku. Untuk menarik anggota baru." 

"Awalnya mereka mengajak bertemu dengan cara makan-makan. Pun demikian denganku. Itu tidak sekali dua kali, tapi kontinyu. Mirip gelombang laut menampari bibir pantai. Ternyata satu dari tetanggaku-tanpa aku ketahui-adalah anggota kelompok tersebut. Tak heran, kenapa aku begitu diharapkan. Keberanianku dalam dunia kekerasan menjadi bidikan utama"

Kawannya manggut-manggut mencoba paham.

"Pimpinan mereka, dalam sebuah kesempatan menyuruh aku untuk bertemu tanpa boleh membawa teman. Disitulah aku di ceramahi. Segala propaganda disemburkan. Pelan tapi pasti aku terjerat. Subtil sekali. Ucapan pimpinan adalah garis perjuangan. Tak ada kata pembantahan. Kalau rencana 'A' sudah diputuskan, mustahil untuk dibelokkan jadi 'B'. Mereka militan sekali"

Hawa malam sedikit gerah. Beberapa pembeli mengipasi tubuh mereka. Musim kemarau tahun ini sesekali masih dihujani gempuran air dari langit. Anomali terjadi. Keadaan yang sama menimpa beberapa individu. 

Mereka mengalami anomali hidup. Pasca reformasi menjadi pintu kebebasan mengambil lahan untuk ditumbuhsuburkan. Gerombolan burung gagak mengepakkan sayap, berteriak lantang berulang memberi peringatan: kami akan berpesta.

"Wajah gadis kecil itu masih kuingat sampai sekarang. Ia seolah dikirim Tuhan untuk mengembalikan diriku pada shirotol mustaqiem.

"Lalu?", tanya kawannya

"Ya begitulah", lelaki itu menyeruput teh yang telah lama panasnya menguap, "Peristiwa itu menjadi titik balik. Aku menenangkan diri ke rumah pakde-ku di sebuah desa pelosok di wilayah Wonogiri. Sayangnya, jeritan gadis kecil itu masih saja terus menguntit, bahkan dalam tidurku"

Dari kekerasan ke kekerasan lagi bukan harapan sebenarnya. Harapan lelaki itu, dirinya mendapatkan ketenangan jiwa yang selama itu hilang dari kalbu. Hijrah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun