Mohon tunggu...
Romario pangaribuan
Romario pangaribuan Mohon Tunggu... Administrasi - Hehehe

Words kill, words give life, They're either poison or fruits- You choose. Proverbs 18:21

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Imajiner Hukuman Mati di Tengah Lonjakan Angka Kematian Era Pandemi

4 Agustus 2021   12:14 Diperbarui: 12 Agustus 2021   13:46 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
edit; pribadi, original poto; MI/Ramdani

Salus Populi Suprema Lex Esto menjadi adagium latin yang makin terkenal sejak isu Covid-19 merebak di Indonesia. adagium ini menjadi sangat familiar di lingkup masyarakat karena di banyak di pajang di beberapa pos-pos penyekatan sejak awal dilakukan pembatasan sosial skala besar (PSSB) sejak April 2020 lalu.

Salus Populi Suprema Lex Esto sendiri mempunyai arti "Keselamatan rakyat Merupakan Hukum Tertinggi". Adagium ini lahir dari seorang filsuf Romawi kuno, Cicero, yang pada saat itu berandai-andai jika negara berada di bawah ancaman situasi dan keadaan darurat maka keselamatan rakyat harus menjadi tujuan yang paling utama, termasuk jika harus mengesampingkan aturan hukum

Secara umum, penjelasan adagium itu mencoba menyatakan dengan tegas bahwa dalam keadaan yang dikategorikan darurat, negara dapat menghalalkan segala cara untuk mendukung upaya yang mengedepankan keselamatan rakyatnya. Tapi, sebenarnya, bagaimanakah cara mengukur peran negara dalam mewujudkan ide Cicero tersebut? Atau istilah yang di pinjam dari Cicero itu hanya buat pajangan agar terlihat keseriusan negara dalam mengatasi situasi darurat layaknya pandemi saat ini?

Tipikor di tengah keadaan darurat

Salah satu bukti pengejawantahan ruh dari semangat Salus Populi Suprema Lex Esto oleh negara terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentnag Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat becana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana dengan hukuman mati.

Berangkat dari pasal tersebut berarti dapat dikatakan bahwa negara berusaha menunjukan perannya untuk mendukung di implementasikannya gaya berpikir Cicero dalam cakupan nasional. Tetapi, lagi-lagi pertanyaan yang muncul, apakah eksekusinya semudah membuat pasalnya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita dapat merujuk ke kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terjadi di era darurat (pandemi) yang dilakukan mantan pembantu Presiden, Juliari Peter Batubara yang secara sahih menerima suap sebesar Rp. 32,4 milliar dari para pengusaha atau vendor yang menggarap proyek pengadaan Bansos (bantuan sosial) untuk penangan covid-19 di Jabodetabek tahun 2020 silam. Tahun pertama dimana pandemi virus mulai merebak secara nasional dan memakan korban yang cukup banyak.

Tidak sampai disitu, beberapa fakta di balik persidangan membeberkan bahwa Menteri sosial ini juga sangat menarik untuk diperhatikan, sebagaiman di kutip dari kompas.com bahwa dakwaan jaksa, si Juliari mengambil fee Rp.10 Ribu pada setiap paket bansos dan menggunakannya untuk beragam kepentingan seperti menyewa jet pribadi sampai pembayaran EO (event organizer) untuk honor aktris Cita -- Citata dalam acara makan malam dan silaturahmi Kemensos RI di Ayana Komodo Resort Labuan Bajo tanggal 27 November 2020.

Beberapa bukti yang dihadirkan di persidangan tersebut menegaskan bahwa Juliari terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi pada saat keadaan darurat berlangsung (pandemi) dan juga tanpa ragu mengambil keuntungan dari program yang ditujukan untuk mengatasi kedaaan darurat tersebut. Walaupun sebagaimana kita semua tahu, pada akhirnya Juliari hanya di vonis dengan hukuman penjara dan denda tanpa sama sekali ada tuntutan hukuman mati sebagaimana yang di atur UU tipikor.

Permasalahan Hati Nurani & Akal Sehat

Alangkah memalukannya ketika penulis masih coba mengkritik tuntutan jaksa dan dasar hukuman yang berpotensi diberikan. Walaupun kritik itu datang di ikuti dengan teori-teori hukum yang relevan, megah, dan terkesan luas dalam memandang sebuah kejahatan yang terjadi. Penulis cuma kembali mengingatkan bahwa di balik setiap hukuman pasti akan ada dasar pertimbangan yang matang dan luwes, menjaga keadilan dan bertindak sebagai tangan kanan Tuhan menjadi tuntutan seorang hakim, dimana tidak semua orang bisa mendapatkan posisi tersebut. 

Namun, menggunakan hati nurani sebagai salah satu parameter penilaian kepada seorang tersangka juga jangan selalu di anak-tirikan, bukankah kualitas putusan pengadilan berkorelasi dengan profesionalisme, kecerdasan moral, dan kepekaan nurani hakim?

Jika pertanyaan hati nurani dan akal sehat di taruh kepada terdakwa korupsi seperti Juliari, sebagai eks Menteri "sosial", pertanyaan paling mendasar yang akan muncul menjadi; Apakah pantas, ketika sebuah instansi negara yang mengurusi masalah sosial dengan bangganya melakukan acara silaturahmi dan makan malam di sebuah resort terkenal dan di tengah aturan pemerintah untuk melakukan pembatasan untuk berkumpul?

Apakah pantas Juliari dan rekan melakukan acara silaturahmi dan makan malam di sebuah resort di labuan bajo dan mengundang penyanyi dangdut Cita-citata, sementara pada hari yang sama tanggal 27 November 2020 ada 16.521 orang meninggal karena covid. Ada ribuan anak, istri, dan suami di Indonesia berkabung menahan tangis karena tidak dapat melihat pemakaman sanak-saudaranya?

Apakah pantas melakukan pemotongan fee, ditengah ribuan orang hilang mata pencaharian? wanita menjual diri hanya untuk makan, masuk ke selokan sempit untuk mencari paku untuk beli beras,memilih mati di tengah jalan karena menahan lapar dari pada menjadi maling?

Lalu seberapa pentingkah arti sebuah nyawa seorang koruptor dibandingkan 16.521 nyawa yang telah melayang? 

Ya, tentu saja dari berbagai sudut pandang tidak akan ada yang membela nyawa seorang koruptor yang terbukti tertangkap tangan, jangan lupakan jika korupsi adalah bahaya laten dan di golongkan sebagai kejahatan transnational crime alias kejahatan lintas batas dimana mengharuskan semua negara saling bekerja sama untuk mengatasinya,Keadaan mejadi semakin parah ketika korupsi dilakukan pada saat negara dan masyarakat mengalami situasi darurat alias genting sebagaiman bencana Virus menular seperti Corona.

Menurut hemat penulis, selama sama-sama manusia dan tinggal di atap yang sama, hati nurani dan akal sehat akan selalu ada dan sama. Begitu juga jika di posisikan pada sang pemberi keputusan dan sang penerima keputusan. Kedua subjek pasti mempunyai hati nurani dan akal sehat untuk berperilaku secara manusiawi sebelum mengambil keputusan. Namun di negara ini, keadilan akan menjadi sangat manis dan bekerja dengan sangat baik hanya di dalam resonansi imajiner di setiap isi kepala orang yang sangat merindukannya.

Adagium cicero yang diserap menjadi asas hukum, lalu muncul cepat tapi latah ditambah masif karena situasi pandemi, seakan-akan menjadi raison d'etat alias semacam "alasan negara" untuk menghalalkan segala cara demi melindungi masyarakatnya, tapi sayangnya ketika perangkat-perangkat negara itu sendiri yang berubah menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat, siapa yang berani sikat dan bertanggung jawab? sudahlah, memang keadilan dalam tindak praktis akan selalu imajiner . -RIO

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun