Mohon tunggu...
Tika Andira
Tika Andira Mohon Tunggu... Freelancer - 作家 / Content Writer

歴史と政治

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

MDTA Galuang, Satu-satunya MDTA yang Masih Melestarikan Budaya Surau "Mamakiah" di Sumatera Barat

24 September 2021   22:26 Diperbarui: 25 September 2021   07:11 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua orang santri MDTA Galuang tampak sedang menjinjing "sumpik bareh" untuk melakukan tradisi "mamakiah" sebelum salat Jumat (Dok. pribadi)

Surau merupakan lembaga pendidikan tertua di Minangkabau yang memegang peranan sangat penting sebelum terjadinya modernisasi pendidikan di Sumatera Barat.

Sebutan nama “surau” sebenarnya sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau pada akhir abad ke-16 M. Namun waktu itu, surau berfungsi sebagai tempat peribadatan Hindu-Budha. Setelah masuknya Islam, maka surau pun beralih fungsi sebagai tempat peribadatan umat Islam.

Fungsi surau setelah berkembangnya Islam di Minangkabau juga mengalami perluasan dari yang semula hanya sebagai tempat peribadatan menjadi: 1) Tempat belajar berbagai macam cabang ilmu agama Islam; 2) Tempat bermusyawarah; 3) Tempat diskusi berbagai isu sosial yang terjadi di masyarakat; 4) Tempat belajar adat Minangkabau; 5) Tempat laki-laki Minang yang sudah balig berakal maupun yang sudah bercerai untuk tidur pada malam hari; serta 6) Tempat belajar ilmu bela diri pencak silat.

Namun setelah terjadinya Perang Paderi, maka lembaga pendidikan surau di Minangkabau pun mengalami kemerosotan yang sangat signifikan akibat pemerintahan Hindia Belanda yang membatasi ruang gerak umat Islam untuk beribadah termasuk mengenyam pendidikan di surau. Salah satu strategi kolonial Belanda di bawah saran Snouck Hurgrounje untuk melemahkan peranan surau sebagai lembaga pendidikan agama Islam yaitu dengan mendirikan sekolah sekuler modern tandingan pertama di Sumatera Barat yang bernama Kweek School (Sekolah Rajo/Sekolah Guru) di Kota Bukittinggi tahun 1873.

Pendirian sekolah tersebut telah mampu menyaingi sedikit demi sedikit lembaga pendidikan surau, sebab bagi siapa yang belajar di sekolah Belanda, maka akan dapat bekerja sebagai pegawai negeri, hakim, jaksa, serta penjaga gudang di pemerintahan Hindia Belanda. Model sekolah sekuler Belanda yang jauh lebih modern, membuat masyarakat Minang akhirnya banyak yang tertarik untuk masuk ke sekolah Belanda ketimbang tetap bertahan belajar di surau.

Untuk mempertahankan eksistensi pendidikan agama Islam, para ulama Minangkabau tamatan surau pun akhirnya bersepakat untuk mentransformasi pendidikan surau menjadi bentuk madrasah pada akhir abad ke-19 agar dapat bersaing dengan sekolah-sekolah sekuler Belanda.

Modernisasi pendidikan surau menjadi madrasah ternyata berdampak salah satunya pada semakin ditinggalkannya budaya-budaya surau oleh masyarakat Minangkabau. Salah satunya yaitu ditinggalkannya budaya surau yang dikenal dengan istilah “mamakiah.”

Mamakiah merupakan suatu istilah yang merujuk pada Pakiah (sebutan untuk santri surau setelah masa Perang Paderi usai) yang berkeliling daerah untuk menjemput sedekah dari para warga guna memenuhi kebutuhan ekonomi para santri dan guru selama belajar di surau karena guru yang mengajar tidak mengharapkan gaji sebagai imbalan jasanya namun mengajar secara ikhlas. Masyarakat biasa memberi sedekah berupa beras, sembako, ataupun uang. Biasanya kegiatan mamakiah hanya dilakukan oleh santri yang menganut aliran tarikat.

Namun ada hal unik pada masyarakat Desa Galuang, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Desa yang terletak di bawah kaki Gunung Marapi ini, kendati masyarakatnya bukanlah penganut aliran tarikat jenis apapun namun juga mempunyai tradisi mamakiah dan hanya satu-satunya di Sumatera Barat di luar penganut aliran tarikat yang masih dilestarikan hingga saat ini berdasarkan survei yang telah dilakukan di lapangan.

Model pendidikan surau di Desa Galuang sendiri semenjak awal abad ke-20 sudah bertransformasi menjadi bentuk madrasah yang sekarang bernama Madrasah Diniyah Takmiliyah Awwaliyah  Galuang. Di mana lama proses belajar di MDTA yaitu selama 5 tahun, mulai dari kelas 1 SD-5 SD. Padahal saat model pendidikan surau masih berjaya, para santri tidak hanya terbatas belajar ilmu agama Islam dasar selama 5 tahun namun dapat belajar hingga tingkat lanjut sampai memiliki ilmu agama Islam yang dalam dan mumpuni, sudah dapat mendirikan surau sendiri hingga santri mendapat gelar Syeikh.

Biasanya tradisi mamakiah di Desa Galuang dilakukan oleh para santri MDTA yang sudah kelas 3 ke atas setiap hari Jumat sekitar pukul 11.00 WIB. Saat mamakiah ada 8 orang santri yang melakukan kegiatan tersebut dan menyebar ke beberapa tempat di area Desa Galuang. Jadi, tiap satu wilayah di Desa Galuang ada 2 orang santri yang mamakiah. Saat melakukan mamakiah, para santri membawa sumpik bareh (tas jinjing besar) yang terbuat dari bahan karung goni plastik tempat wadah menampung beras. Para santri akan mendatangi rumah warga sambil mengucapkan Assalamualaikum dengan nada suara yang khas.

Setelah selesai mamakiah, para santri akan berkumpul di surau ketek (surau kecil) yang terletak di kompleks Masjid Jami dan MDTA Galuang-pada zaman dahulu merupakan area basis kekuatan Tuanku Galuang, salah seorang ulama anggota “Harimau Nan Salapan” pada masa Perang Paderi-untuk mengumpulkan beras yang sudah didapat dengan menyimpannya selama satu bulan di kotak besar dari kayu seperti kotak amal di dalam mesjid dan akan diberikan sebulan sekali sebagai bentuk tambahan gaji bagi para guru madrasah. Sebagai bentuk terima kasih guru kepada para santri yang telah melakukan mamakiah selama satu bulan, maka guru madrasah pun akan memberi mereka masing-masing 2 liter besar beras.

Pada dasarnya, semenjak berubah dari surau menjadi madrasah, para pengajar MDTA sudah memiliki gaji tetap yang berasal dari uang SPP tiap bulan peserta didik serta dari para donatur masjid. Namun Masayarakat Desa Galuang tetap melestarikan budaya surau mamakiah sebagai bentuk terima kasih orang tua santri kepada guru yang sudah mengajari anak-anak mereka ilmu agama di madrasah.

Bagi para pecinta maupun peneliti sejarah yang berminat lebih lanjut untuk melihat lebih dekat ataupun ingin meneliti tradisi mamakiah di Desa Galuang ini, bisa berkunjung setiap hari Jumat sambil menikmati pemandangan alam yang eksotis dengan latar Gunung Marapi dan hamparan Bukit Barisan disekelilingnya serta dapat menikmati kuliner khas Minangkabau yang sangat menggugah selera di tengah iklim desa Galuang yang dingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun