Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Utang Motor, Mahar untuk Istri dan Kerendahan Hati

15 Juli 2016   10:21 Diperbarui: 15 Juli 2016   20:29 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi. Foto: liputan6.com

KETIKA memutuskan untuk berkarir, mengabdi sambil mengembangkan potensi diri di tanah kelahiran, Flores, NTT, saya mulai bingung. Sejauh dan sedekat apapun jarak yang ditempuh, dampaknya bisa sangat mengempiskan isi dompet. Ongkos ojek lumayan mahal. Saya mengusahakan untuk memiliki kendaraan roda dua pribadi. Ini murni atas desakan kebutuhan. Selain tuntutan pekerjaan yang cepat, cerdas dan tertib waktu. Jadilah saya membelinya dan memilikinya.

Suatu saat, saya ke rumah teman, juga ke rumah saudara di kampung. Mereka bertanya pasang muka tidak percaya. “Kau punya motor barukah?” “Bukan,” saya menjawab sekenanya saja. Saya pun menceritakan kepada mereka, ini motor bukan milik saya. Pihak dealer di Ende meminjamkan saya. Kok, bisa? Iya bisa.

Meski setiap hari saya bisa memakainya sepuas hati, saya mengendarainya ke mana pun yang saya mau. Tak diatur waktu. Siang maupun malam. Bensin habis, saya mengisinya. Saya pun menaruhnya di rumah pribadi. Tidak masalah. Tetap, dengan catatan motor itu milik dealer. Bukan milik saya.

Setiap bulan saya mencicil sesuai ketentuan harga yang telah disepakati bersama. Juga selama kurun waktu yang disetujui bersama. Sampai jatuh tempo. Itu kewajiban saya. Sebagai kompensasi dari pemakaian sepeda motor itu setiap hari.

Ingat, sepeda motor itu masih milik dealer. Bukan milik saya. Saya sudah membelinya, tapi dengan cara kredit. Mencicil setiap bulan. Credit dari kata Latin, credere, yakni percaya. Pihak dealer percaya seyakin-yakinnya bahwa saya akan memakai sepeda motor itu secara bertanggung jawab. Kami saling percaya. Saya tidak akan membawa kabur yang masih menjadi milik dealer. Saya tahu, saya masih punya kewajiban setiap bulan untuk mencicil.

Bisa dikata, sepeda motor itu kewajiban. Berupa utang. Ia adalah liabilitas. Andai saya sudah habis mencicil sesuai dengan kesepakatan yang telah diangguk-kepalakan bersama, maka ia baru menjadi milik pribadi saya. Menjadi sepenuhnya hak saya. Kendaraan itu kekayaan saya. Ia aset yang berharga.

Jadi, saya mau katakan kepada diri saya sendiri, saya harus cukup rendah hati dengan sepeda motor yang masih belum lunas. Bisa jadi, jika rezeki sedang push up sepeda motor itu akan ditarik dealer. Menjadi milik dealer lagi.

Tidak berbeda jauh dengan contoh soal status kepemilikan sepeda motor di atas, juga soal kepemilikan istri. Ini hal yang agak sensitif. Di Flores, untuk mendapatkan istri itu tidak gratis. Mesti ada belis, tuntutan adat perkawinan. Jumlah minimal kalau diuangkan lima puluh juta rupiah.

Andaikan, saya baru saja meminjam uang dari sebuah lembaga keuangan. Tujuannya meminjam adalah untuk urusan adat yang dimaksud: membayar belis kepada keluarga sang calon istri, dengan beberapa ekor sapi, emas dan uang. Pinjaman sudah dicairkan, urusan belis dan adat pun lancar. Pihak keluarga perempuan puas dengan sejumlah belis yang saya berikan. Terlihat sang mertua bersenyum mengembang lebar. Sebab ada jatah pengganti air susu ibu. Pihak paman pun ikut tertawa terkekeh-kekeh. Suasana kampung ramai. Musik ingar bingar dengan dentuman bas menggeser bumi. Pesta pora. Mereka menari dan bergembira bersama. Arak dan rokok lancar membakar semangat kebahagiaan.

Sedangkan di sana, di pojok tenda, saya sedang bermuram durja. Kebahagiaan dan kegembiraan mereka adalah nestapa saya. Tawa mereka adalah tangisan duka saya. Senyum adalah luka. Utang saya membengkak. Pikiran berkalut bagaimana saya akan mencicilnya nanti, walau rekan dan sahabat yang lebih dulu meyakinkan, kalau sudah ada istri dan dan anak rezekinya ada saja. Saya terlanjur kalut. Mana ada di Flores, belis belum lunas sudah bisa nikah? Ah, bisa dihitung dengan jari.

Ingat, meski sudah menikah istri belum menjadi milik kita. Kita masih kewajiban untuk mencicil pokok dan bunga utang yang saya pinjam untuk membelis. Istri itu adalah kewajiban, hutang dan liabilitas. Ia menjadi kekayaan, aktiva dan aset berharga ketika saya sudah melunasi utang saya tadi. Saat-saat ekonomi keluarga baik kita lupa, namun saat-saat ambruk, suami istri mulai saling memperhitungkan. Di sinilah, katanya, hidup berumah tangga tidak cukup bahagia, penuh cekcok dan mengarah ke perceraian jika ada utang warisan belis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun