Menuju Boba, kampung di sebelah Selatan Kabupaten Ngada, kita tak akan jenuh menikmati panorama alam nan indah. Udara sejuk tersaji apik bersama pemandangan sawah hijau dan menguning menyegarkan mata. Pegunungan menjulang di sisi utara, ditutup hutan menghijau. Di ujung selatan Laut Sawu membentang luas, dengan ombak bergulung-gulung di bibirnya.
Sedalam itulah yang tersaji ketika kita menuju Boba, persis di Desa Kezewea, Kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada, Flores. Ia menyajikan kesan mendalam dan berbeda. Indah dan sejuk. Dan di antara keringat para petaninya, kita menyelami arti sebuah kerja keras dan perjuangan.
Daerah penghasil arak berkelas ini mencakup beberapa kampung seperti Boba Baru, Boba Lama, Bozoa, Soka dan Watutedo. Sekian tahun pelosok Ngada yang terdiri dari Desa Boba I, Boba, Watusipi, Wogowela dan Bawarani ini jarang disentuh pembangunan. Jalan raya sudah beraspal, meski beberapa ruas terkelupas oleh usia. Beberapa ruas yang lain masih berupa jalan tanah dengan kerikil berserakan. Terutama di empat kali mati tak didukung jembatan atau gorong-gorong, seperti Kali Boba, Waepana, Lekorajo dan Wae Danga. Batu-batu sebesar kelapa dibiarkan menghalangi jalan di setiap kali mati itu.
Paling menyedihkan, wilayah penghasil pisang ini belum disentuh PLN. Penerangan di malam hari menggunakan lampu pelita dari minyak tanah. Beberapa lembaga dan keluarga memakai genset yang berbatuk-batuk bak nenek tua di belakang rumah dan kantor. Seperti di sebuah kantor lembaga keuangan KSP Kopdit Noregore memakai genset untuk melayani anggota di siang hari. Begitu pula untuk memperlancar pelayanan administratif pemerintahan desa. Bahan bakar genset dibeli dari Kota Bajawa, dua jam lebih waktu tempuhnya. Meski demikian, sinyal telepon seluler penuh di pojok kanan atas layar handpone.
Terlepas dari beberapa remah kue pembangunan yang belum dicicipi, terutama dalam pelayanan kesehatan yang memadai, masyarakat Boba tidak cemas. Tempat pemandian air panas Soka adalah “Rumah Sakit”-nya masyarakat Boba. Kolam pemandian air panas alami ini terletak seratus meter di belakang SDI Soka, desa Boba I. Belum ditakar suhu sesungguhnya, namun dipastikan dapat memasak telur dalam kurun waktu lima menit.
Vitalis Bere menceritakan, air panas Boba bermula dari sebuah legenda. Alkisah, hiduplah dua buah keluarga yang sedang menyusui bayi. Suatu siang, suami mereka sedang pergi ke laut, tak seorang pun tinggal di kampung itu, selain dua ibu yang sedang menyusui. Hingga sore menjelang malam, salah seorang ibu yang menyusui belum memasak, belum menyalakan api di dapur.
Lantaran menurut adat setempat seorang ibu yang menyusui belum diperbolehkan keluar rumah untuk mendapatkan api, maka tak ada jalan lain. Mereka menggunakan seekor anjing untuk mengantar api dari rumah sebelah. Seorang ibu yang menyusui mengikat sepotong kayu yang setengah sudah berbara api pada ekor anjing. Seorang ibu yang menyusui dari rumah sebelah, yang ketiadaan api, memanggil anjing itu. Dan ketika malam tiba, cerita anjing mengantar kayu dengan bara api didengar oleh suami mereka. Mereka tertawa karena merasa lucu. Hingga alam marah dan murka. Kilat dan guntur bergantian. Hujan sangat lebat mengguyur. Tenggelamlah kampung kecil itu dan memunculkan mata air panas.
Pemandian air panas Soka dilengkapi dengan dua pondok penginapan di sekitar lokasi. Penerangan menggunakan genset untuk menyalakan beberapa lampu. Khusus di akhir pekan, pemandian air panas dikunjungi banyak orang, entah sekedar berekreasi hingga dengan tujuan khusus, seperti terapi pijat air panas untuk menyembuhkan berbagai penyakit.