Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malafai

11 Oktober 2016   22:19 Diperbarui: 11 Oktober 2016   22:28 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Roman Rendusara

Pagi ini, kau begitu keruh. Muka luruh. Rambut dibiarkan panjang tak terurus. Jambang menjalar seenak arah,  dengan jenggot seperti akar beringin. Berpakaian kusut hingga tak terlihat warna dasarnya. Sepatu hitam Castello disemir lumpur, ditinggal mengering. Nampak jelas tanpa kaus kaki. Mungkin ini penampilan tergantengmu ketika masuk Kota Bajawa, sebagai guru muda, yang mengabdi di kampung terisolir, Malafai.

Banyak orang-orang yang melintas, melirik dan memandangmu lirih. Kau jalan menggonta, tak pusing peduli. Kau pasti bergundah dalam hati; enak kamu di Kota, tak becek, tak ada lecek. Musim hujan aman. Jalan aspal mulus. Dengan sepeda motor saja beberapa menit sudah tiba di kantor.

Tak sedikit pula kagum. Penampilan adalah ketak-putusasaanmu. Luruh mukamu adalah guratan perjuangan. Rambut, jambang dan jenggot yang tak terurus mengisahkan kau jauh dari silet dan alat cukur. Sahabat terbaikmu adalah alam dengan segala perilakunya. Kau pernah ‘kasih’ cerita; hujan dan lumpur tak membuatmu surut, panas terik tak menjadikanmu lari, mencerdaskan generasi  adalah spirit terdalammu.

“Om guru, Om guru ada mau beli hp apa?” sapa seorang gadis remaja, pelayan yang ramah saat kau masuk ke toko jual handphone itu.

“Tidak le, saya mau isi pulsa saja”, kau jawab sambil mengeluarkan hp senter, dari saku celana itu.

Gadis pelayan toko itu sigap mengambil handphone khusus untuk menjual pulsa, lalu memencet-pencet tombolnya.

“Om guru, sebut nomor sudah”, kata gadis pelayan itu untuk meminta nomor handphonemu.

“Nol, delapan, satu, dua, tiga, enam, empat, empat dua,....(dst.)”

“Om guru, saya sebut ulang ew, biar tidak salah isi”, kata pelayan itu lagi.

“Iya, nona.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun