Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ende, Kota Puan Maharani

21 Mei 2015   13:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:45 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1432189272916389520

(catatan ringan kunjungan menko pmk di Ende)

[caption id="attachment_419074" align="aligncenter" width="700" caption="Menko PMK Puan Maharani tiba di Ende, Flores (20/5) untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional"][/caption]

Sumber gambar: di sini

BERBEDA dari tahun - tahun sebelumnya, peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) di kota Ende kemarin (20/5) dihadiri oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani. Sebagaimana dikenal, ia adalah putri Megawati Soekarnoputri, dan cucu Bung Karno. Bung Karno sendiri pernah ‘dibuang' oleh Belanda ke Ende pada 1934 - 1938. Rumah bekas tempat tinggalnya berada di jalan Perwira kini dinobatkan sebagai situs bersejarah, jejak perjuangan bangsa menuju kemerdekaan RI tahun 1945.

Selain sebagai tamu resmi, kedatangan cucu Bung Karno ke bumi Tiwu Telu adalah memaknai kembali jejak perjuangan sang kakek, Bung Karno. Dari Ende untuk nusantara, lima cabang pohon sukun menginspirasi lahirnya gagasan Pancasila, fondasi nilai dan jati diri bangsa Indonesia. Konon, kata "Esa' dalam sila pertama Pancasila - KeTuhanan Yang Maha Esa diambil dari bahasa Ende. ‘Esa', berarti satu, utuh dan tak terbagikan.

Dan kemarin, Puan Maharani menegaskan kembali, arti pentingnya Ende sebagai kota lahirnya butir - butir Pancasila. Ia mengajak masyarakat kabupaten Ende menggaungkan semangat Bung Karno. Imbaunya, Harkitnas membawa semangat gotong-royong dan kesetiakawanan yang kuat untuk membangun masyarakat dan bangsa Indonesia.

Sepintas ini adalah seruan biasa. Lazimnya pidato seorang pejabat negara selalu copy-paste, yang diubah hanya tempat dan tanggal. Isinya sama. Kata demi kata cenderung tidak meleset jauh. Tapi, ada yang beda. Justru Puan Maharani menabiskan Ende sebagai kota Soekarno.

Setahun kemarin (12/5/2014), pemerintah kabupaten Ende mengusulkan nama pelabuhan Ende menjadi pelabuhan Bung Karno. Tidak lama berselang, Bupati Ende Ir Marselinus Y.W Petu mendeklarasikan perubahan nama itu pada 31 Mei 2014. Sekali lagi, perubahan nama Pelabuhan Ende menjadi Pelabuhan Bung Karno, Bupati mengatakan, untuk mengingatkan kepada seluruh warga, terutama warga Kabupaten Ende tentang sosok Bung Karno sang Proklamator, yang merenung di pohon sukun dan menemukan butir-butir Pancasila ketika berada di Ende.

Sejak kemarin Bung Karno seakan masih hidup di Ende. Kota Ende sebagai kota Soekarno. Pelabuhan lautnya dikenal pelabuhan Bung Karno. Taman kota disematkan taman renungan Bung Karno. Ada patung Bung Karno. Ada nama jalan di sebelah lapangan Pancasila, jalan Soekarno - (Hatta). Juga situs Bung Karno, bekas rumah tinggal Soekarno. Jadilah Ende selalu identik dengan Bung Karno.

Jika meminjam istilah dunia telepon genggam, ini hanya ‘casing', kostum yang dikenakan, tampilan fisik atau pakaian luar kota Ende. Toh, seindah - indahnya tampilan luar, ‘dalam'-nya belum tentu indah juga. Beberapa kasus korupsi seolah ditutuprapatkan oleh euforia casing Bung Karno itu. Ada napi yang bebas keluar jogging pagi kembali malam, tentang tambang pasir besi yang tak kunjung dicabut izinnya, ada honorer K2 yang masih menunggu SK dan atau tentang PNS-PNSnya yang mengeluh lantaran dipindahtugaskan pasca pemilukada. Alasan politis dinomorwahidkan ketimbang kualitas personal. Ini mirip Bung Karno dibuang ke Ende (pelosok), jauh dari Jawa oleh alasan politis.

Nah, akhirnya, saya masih tetap optimis. Kehadiran Puan Maharani dan pembaptisan kota Ende sebagai kota Soekarno kian merujuk pada sebuah kota idaman, nyaman dan toleran. Kita mendambakan Ende dan masyarakatnya yang sungguh menghidupkan roh Pancasila. Kita rindu generasi yang punya semangat juang tinggi. Berprestasi. Tidak mudah putus asa dan banyak habiskan waktu nongkrong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun