Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Calon Imam Katolik Jalani TOP di Pesantren, Merawat Toleransi dari Flores untuk Nusantara

20 Januari 2016   09:55 Diperbarui: 20 Januari 2016   11:11 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Frater Adi Uskenat, SVD saat mengikrarkan kaul (Foto:hidupkatolik.com)"]Frater Adi Uskenat, SVD saat mengikrarkan kaul (Foto:hidupkatolik.com)

BANGSA ini sedang kasak-kusuk dengan persoalan kekerasaan atas nama radikalisme agama dan kepercayaan. Di dunia maya, pasca aksi teror Paris (13/11/15) berujung di Sarinah (14/01) yang menewaskan orang-orang tak bersalah, debat kusir, saling balas-membalas komentar, disertai dengan hujatan, umpatan, hingga ‘membawa-bawa’ seluruh isi kebun binatang adalah menu paling ‘sedap’. Entah memakai akun palsu atau akun asli, kekerasan berbasis SARA dan intolerasi seakan mendapat tempat yang pas. Dunia maya adalah persemaian intolerasi. Sarkasisme tumbuh paling subur. Ini adalah kecemasan kita bersama. Negara mesti waspada. Terorisme yang sesungguhnya. Bagai simpton, dan bukan tidak mungkin, kecamukan dunia nyata adalah muaranya.

Namun, di tengah kasak-kusuk intoleransi di atas, masih ada harapan, bagai sepoi-sepoi berhembus angin kedamaian, tak jemu-jemu membawa kesejukan bagi Indonesia, dari bukit Ledalero, Flores, NTT. Dari Seminari Tinggi Ledalero inilah benih-benih kerukunan terus dijaga, dipelihara dan dipersembahkan kepada kepada semua anak bangsa.

Kisah Frater Adi Uskenat SVD, calon imam/pastor konggregasi Serikat Sabda Allah - Societas Verbi Devini (SVD) merupakan contoh nyata. Ketika mengucapkan kaul kekal sebagai syarat mutlak seorang anggota SVD, seorang ibu berjilbab penuh khidmat mengikuti rangkaian upacara tersebut. Setelah ditelusur ibu itu ternyata pengasuh Pondok Pesantren Walisongo Ende. Ia dan beberapa anak pesantren datang mendukung para frater yang mengikrarkan kaul. Terkhusus kepada Fr Adi Uskenat SVD yang pernah menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di pesantren tersebut.

Penempatan Fr Adi di Pesantren Walisongo merupakan kebijakan kongregasi SVD. Ia mengajar bahasa Inggris dan komputer. Juga mengurus asrama dan mendampingi anak-anak belajar. Selain itu selama di pesantren, Fr Adi rajin bangun pagi untuk membangunkan anak-anak supaya bisa mengikuti shalat.

Hembusan sepoi-sepoi angin toleransi dari bedeng persemaian para calon imam Ledalero bukan kali ini saja. Pada 10 Oktober 2015 yang lalu, ibu Siti Asiyah, seorang muslimah, menyerahkan putra kandungnya, Robertus B Asiyanto untuk ditabiskan menjadi imam Katolik. Ibunda Asiyah pun turut menaruh tangan di atas kepala Pater Robertus, sebagai tanda merestui dan mendukung jalan panggilan sang anak. Kisah Siti Asiyah menyebar seketika upcara selesai lewat dunia maya. Bahkan sampai ke meja Kepausan di Roma.

Siti Asiyah senang anaknya jadi pastor (Foto:Umberto Verbita/Facebook)

Akhirnya, dua pengalaman dari Flores di atas, merupakan pengalaman dialog keagamaan yang sangat dalam. Perbedaan apa pun tidak menjadi lahan subur kekerasan. Mesti sebagai bangsa yang beradab, kita merawat persatuan, menjaga keutuhan serta membina kekeluargaan yang kompak. Hanya dengan demikian, kita tidak menjadi bangsa sarkasis, fitnah, caci maki dan saling mengumpat. Kita pun tidak menjadi anak bangsa yang ‘membawa-bawa’ seluruh isi kebun binatang hanya karena perbedaan argumentasi soal agama. Kiranya, kita beragama yang dewasa tanpa menganak-tirikan pikiran dan perilaku yang etis.

Salam Indonesia damai dari rahim Pancasila, Ende, Flores.

===========

Sumber tulisan: di sini dan di sini

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun