Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bahagia Natal ala Seorang Satpam Flores di Jakarta

11 Desember 2015   12:26 Diperbarui: 11 Desember 2015   12:26 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

MESTINYA, hidup tidak sekejam ini. Sangat kejam, hingga Jehadut pusing beberapa kali putaran jarum jam, susah menentukan masa depannya. Maju kena, mundur kena. Lompat apalagi. Berbagai jenis pekerjaan dan profesi, telah digeluti. Tetap saja, pagi-pagi buta, sebelum berangkat kerja, ia menggedor-gedor kamar. Terpaksa saya harus bangun. Sedikit uang untuk beli minum sudah membuat Jehadut siul-siul kecil, menuju stasius Depok Lama.

Setiap hari Jehadut rajin, bangun cepat meski tanpa harus diperintah alarm weker. Mandi secepat kilat, berpakaian seadanya, tanpa sedikit sarapan dan mengopi. Lalu, ia beranjak pergi ke Jakarta kota.

Profesi satpam adalah kebanggaan. Pergi subuh pulang petang, rutinitas yang lumrah. Tanpa pernah ada hari libur. Setiap tanggal ‘merah’, kata Jehadut, bosnya selalu memohonnya masuk. Tetap piket. Bahkan hari raya agamanya sekalipun. Jehadut, putra Flores yang rajin ini tahu betul, aset terbesar sebuah perusahaan adalah keamanan dan kenyamanan, jika terjadi pencurian, kebakaran dan demo buruh, perusahaan terancam bangkrut, bisa-bisa colaps. Makanya, ia pastikan area perusahan pabrik minuman ternama itu terhindar jauh dari pencurian, kebakaran dan aksi tak bertanggung jawab oleh buruhnya.

Desember 2010 tiba. Saya libur hari itu, diisi dengan jalan-jalan, tidak sadar melintas depan pabrik minuman itu. Sepeda ontel dari pasar Rumput diparkir sebentar, persis di depan pos satpam. Keringat-keringat sebesar biji jagung hibrida masih jatuh. Area pabrik itu sepi. Tidak ada hiruk pikuk mobil galon keluar masuk. Pos satpam melompong, tidak ada sopir kenek minta cap DO atau PO.

Tidak hilang akal, saya memberanikan diri, mendekat. Gerbang geser itu tidak digembok. Saya masuk, lalu duduk di kursi satpam itu, penuh harap keringat kering dan bola mata dilempar sekehendak arah, tidak melihat siap pun. Muka hidung Jehadut belum muncul. Saya putuskan tetap menunggu. Itu hanya karena, Jehadut pernah cerita, hanya dua satpam, dia dengan seorang teman, Hendra, dibagi dua shift, dan Jehadut selalu berpiket shift pertama, pukul 7 pagi dan lepas pukul 5 sore, setiap hari tanpa libur.

Tanpa sadar sejam berlalu. Area pabrik masih sepi. Tidak ada tanda-tanda Jehadut tampak, sebab semalam katanya ia piket pagi. Dan kini, matahari telah menegak lurus di atas ubun-ubun juga ia belum muncul. Penasaran menjadi-jadi, kemana Jehadut hari ini? Dia tidak piket?

“Hahaha...” Jehadut mengagetkan saya, Dari mana munculnya, saya tidak ingat. Dia sudah di depan mata, menyambut saya dengan tawa khasnya. Ia berbaju batik corak ekor kasuari, dibalut celana hitam tisu licin-yang kalau lalat hinggap saja bisa tergelincir. Sepatu hitam disemir bersih mengkilat. Dua tangannya memangku parcel sebesar tong sampah ‘bio earth’, berjejer dan saling menindih buah pir, apel, anggur, coklat, plus beberapa botol kaleng fanta dan sprite, lengkap dengan makan ringan berbagai jenis. Sebotol sirup kuning tegak lurus, diapit bir. Sudah pasti seperti tahun-tahun kemarin, dari bosnya, ketemu di gereja keluar misa.

Hah? Saya ternganga-nganga. Hari ini 25 Desember 2010, mestinya sebagai orang Katolik saya merayakan natal. Saya lupa.

“Hidup ini keras, teman,” katanya setelah menaruh parcel itu. “Hidup ini keras dan kejam; kerja tidak kenal libur, gaji tergantung bos ingat, absen dan terlambat potong transpor, jangan harap ada tunjangan beras, tapi saya tetap menikmati kebahagiaan-kebahagian kecil yang menyenangkan meski setahun sekali ini”. Saya mengangguk.

Dan, segera kita pindahtempatkan semua itu ke dalam perut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun