Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Menangkis Tarif Naik, Menangkal Tax Gap

30 Januari 2021   22:56 Diperbarui: 30 Januari 2021   23:08 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konter Pulsa. Foto: AMBARANIE NADIA via Kompas.com

Sebelum saya bertransaksi melalui aplikasi pembayaran digital, saya membeli pulsa dan token listrik di gerai-gerai atau kios (warung) kecil yang menjual pulsa dan token. Bukan rahasia lagi, beli pulsa 10 ribu dipatok 12-13 ribu rupiah. Token listrik 100 ribu seharga 105 ribu rupiah.

Artinya, sebagai orang awam akan menduga, pihak eceran di warung, kios dan gerai penjualan pulsa dan token akan mengambil untung dua-tiga ribu rupiah, dan lima ribu rupiah untuk token listrik. Entah, dugaan ini tidak benar, tetapi umumnya memahami, mengambil keuntungan demikian masih wajar. Namanya saja bisnis, mencari untung.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah meneken PMK No.6/2021 tentang penghitungan dan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) terkait penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucer. PMK ini berlaku mulai 1 Februari 2021.

Dirjen pajak berdalih, pengenaan pajak selama ini sudah berlaku. Tidak terdapat jenis dan obyek pajak baru. PPN pun hanya sampai pada level distributor tingkat II. PMK ini tidak berlaku bagi pengecer dan konsumen langsung.

Namun, belum pasti distributor mau bertanggungjawab atas PPN secara penuh. Pasalnya, tambahan beban administrasi pasti dikenakan juga kepada pengecer dan konsumen. Dengan cara, menaikkan harga pulsa dan token. Bisa jadi, pulsa 10 ribu akan dipatok 15 ribu rupiah. Dengan alasan, pajak.

Distributor hingga pengecer umumnya tidak pernah ambil rugi sedikit pun. Misalnya, di Flores NTT, jika harga bensin turun di tingkat nasional, itu tidak membuat harga pengecer, yang jual dengan botol 1.500 ml di pinggir jalan ikut turun. Mereka beralasan, jika diitngkat nasional turun, memang bensin itu mengalir sendiri hingga ke Flores dan masuk sendiri ke botol? Jawaban ini, kadang membuat pembeli (konsumen) kikuk.

Hal ini sama seperti, pulsa dan token listrik. Distributor dan pengecer akan bersepakat. Harga dinaikkan, walau hanya seribu rupiah. Sekuat apapun menangkis tarif, ujung-ujungnya konsumen yang menanggung. Tiada pilihan lain untuk masyarakat yang belum bersahabat dengan tekfin. Terpaksa membeli.

Akhirnya, publik memahami, pengenaan dan pemungutan pajak PPN dan PPh dari penjualan pulsa, token, kartu perdana dan voucer adalah upaya pemerintah mengurangin tax gap. Pemerintah berusaha menutup cela potensi penerimaan pajak yang seharusnya bisa diterima oleh negara.

Publik berharap kebijakan ini tidak sampai ikut memberatkan konsumen langsung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun