Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibu dan Koran Bekas untuk Literasi Bacaku

5 Desember 2020   22:53 Diperbarui: 5 Desember 2020   23:03 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu sedang merayakan wisuda si bungsu. Foto: Roman Rendusara

Melewati masa-masa kecil bersama keluarga di kampung kecil, di Desa Kekandere, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1980-an, memang tidaklah membanggakan jika dibandingkan masa kecil anak-anak sekarang ini.

Saya belum mengenal mainan-mainan anak sebagus kini. Handphone masih belum dikenal. Youtube saya tidak nikmati. Mobil-mobilan buatan Mas Jawa bukan mainan saya. Mainan saya adalah pagi-pagi buta pergi mandi dan mengambil air di kali berjarak 2-5 kilometer.

Air diisi ke dalam wadah bambu beruas tiga. Di antara ruas ada buku. Dua buku dilubangkan sehingga ruas bersambung. Buku terakhir dibiarkan semula, agar bisa menampung air. Saya memikul bambu berisi air itu dengan penuh semangat, meski jalan menanjak, menuju kampung.

Jika belum terlambat untuk pergi ke sekolah, saya menggunakan waktu untuk menyapu halaman dari daun-daun yang jatuh semalam. Makhlum, di halaman rumah terdapat pohon lemon besar. Di musim kemarau, daun berguguran. Sehari tak disapu halaman rumah seperti tempat sampah.

Rumah kami sangat dekat dengan Sekolah Dasar Katolik (SDK) Kekandere 2. Bersebelahan, hanya dibatasi pagar barisan pohon gamal yang diikat belahan bambu horizontal. Hal ini atas profesi sang ayah sebagai guru di sekolah tersebut. Kala itu, rumah guru harus dekat sekolah. Selain alasan mudah dijangkau, juga lebih maksimal mendidik anak-anak sekolah.

Jadilah, kami diberi hadiah oleh masyarakat setempat sebuah rumah yang dibangun secara swadaya, berukuran 6x8 meter persegi. Rumah itu bertiang kayu, berdinding bambu cincang, beratap seng, dengan jendela tripleks setebal enam milimeter.

Sang ibu tidak mengenyam pendidikan, entah alasan apa kala itu. Konon, katanya, sekolah jauh. Meski demikian, ia berperan sangat banyak dalam keluarga kami. Ia seorang ibu rumah tangga yang hebat, bendahara yang jujur, petani yang rajin, peternak yang ulet, dan dokter yang menyembuhkan. Ibu juga memperkenalkan saya tentang literasi baca (kecakapan membaca).

Ibu rumah tangga yang setia

Peran sebagai ibu rumah tangga, ia lakukan sejak pagi masih buta. Ia bangun sebelum ayam berkokok. Ia menyiapkan sarapan pagi untuk ayah yang akan pergi mengajar dan kami anak-anak yang akan ke sekolah. Ia pun  menyiapkan makanan siang kami. Sebab saat kami pulang sekolah ibu sedang di ladang/kebun.

Sarapan kami tidaklah istimewa, ubi kayu (singkong) rebus. Di awal-awal bulan ketika ayah baru saja terima gaji, menu sedikit berubah, nasi jagung semirip bendera Vatikan (putih-kuning), tanpa sayur apalagi lauk.

Di hari-hari special, seperti hari ujian kenaikan kelas, ibu menambahkan telur rebus. Katanya, biar otak cerah, bisa mengerjakan soal-soal ujian. Kini baru saya sadar, sebutir telur rebus mengandung 78 kalori, 6,29 gram protein, 25 mg kalsium, 0,59 besi, dan 112,7 mcg kolin. Selain itu, sebutir telur juga mengandung vitamin A, vitamin D dan vitamin B kompleks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun