Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kompasiana Mengubah Airmata Menjadi Senyum Bahagia Warga Titehena, NTT

23 Oktober 2020   12:10 Diperbarui: 24 Oktober 2020   15:18 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disambut dengan laut yang teduh di Pulau Solor, Flores Timur, NTT. | Foto: Roman Rendusara

Selamat memaknai HUT Kompasiana ke-12. Mohon dimaafkan bila tulisan ini hadir pada H+1. Bukan sengaja melupakan, namun saya tidak mampu membatalkan kesibukan-kesibukan kecil. 

Lebih dari itu, saya pikir, ini kesempatan yang tampan, agar saya membagikan kebahagiaan besar, sekaligus sebagai pertanggungjawaban moral saya terhadap Kompasiana, K-ners, dan masyarakat luas.

Tekad untuk menulis sudah muncul sejak di bangku SMP. Berawal saya suka menulis puisi dan cerpen. Namun puisi-puisi itu kandas di meja redaksi mading (majalah dinding) sekolah. 

Tak pernah sekali pun tulisan saya bertengger di sana. Justru, hati saya teramat sakit, suatu ketika, cerpen saya, tercabik-cabik di tong sampah, samping ruang redaksi.

Meski sakit hati hingga menamatkan bangku sekolah menengah, tekat untuk menulis itu tetap tertanam. Di bangku kuliah, gairah menulis itu tetap ada, meski terbentur waktu, antara kerja di siang hari dan kuliah di malam hari.

Sejenak menyapa siswa SD Filial, Flores Timur, NTT.| Foto: Roman Rendusara
Sejenak menyapa siswa SD Filial, Flores Timur, NTT.| Foto: Roman Rendusara
Pertemuan saya dengan Kompasiana tidak terduga. Kala itu, saya masih 'ngekos' di Gang Pocin, Jalan Maragonda Raya Depok, Jawa Barat. Saya sering membaca tulisan-tulisan seorang kakak kelas. Dia rajin membagikan ke laman Facebook saya. Saya pun tertarik membaca, Dan niat menulis seakan melonjak dari kedalaman hati yang paling dalam.

Tepat 19 Mei 2011 saya mendaftar dan menjadi bagian dari Kompasiana. Tahun-tahun awal saya cenderung menulis puisi dan cerpen. Sesekali catatan harian sebagai cara saya memaknai peristiwa-peristiwa dalam hidup saya. Saya baru mulai menulis pada 26 Mei 2011 tentang neolibealisme yang hanya 300 dibaca tanpa komen dan vote.

Senang bukan main ketika labet AU (dulu Headline) hinggap di tulisan saya dengan judul: Aku Petani, Aku Sarjana.

Hari-hari terus berlalu. Saya terus menulis. Saya tinggalkan puisi meski sesekali menghidupkan cerpen. Saya fokuskan pada catatan harian, sebagai cara saya menyampaikan keprihatinan dan kegelisahan saya, terutama terhadap kampung halaman saya di NTT.

Berkat Kasus Setya Novanto

Salah satu tulisan yang membekas, dengan/pada HUT Kompasiana inilah saya membagikan pengalaman itu, dengan judul: Memprihatinkan, Kondisi Bangunan Sekolah di Dapil Setya Novanto. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun