Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Merancang Teologi Digital Pasca Pandemi

19 Mei 2020   14:38 Diperbarui: 19 Mei 2020   14:40 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar diambil dari cover buku ‘Digital Afterlife – Death Matters in a Digital Age’ (Maggin Savin-Baden, 2020)

Sudah tiga bulan lebih saya tidak beribadat di gereja. Memang tidak boleh karena sosial distancing/physical  distancing. Hanya lewat layar TV saya mengikuti Misa, dengan livestreaming. Ada doa komuni bathin, mungkin maksudnya menyatukan saya dengan Tubuh Kristus yang tidak secara langsung saya terima. Kadang saya turut dalam ibadat sabda lewat radio. Melalui layar hp, saya pun mengikuti novena (live) lewat sebuah akun Facebook.

Entah sampai kapan ibadat ‘livestreaming’ ini terus berlangsung. Italia sudah membuka gembok pintu gereja sejak kemarin. Ini tanda – tanda pulih. Saya yakin itu. Karena saya sudah mulai bosan dengan misa hanya lewat layar kaca. Saya mulai jenuh misa ‘live’ dari gereja Katerdral Jakarta atau gereja yang agak keren. Coba bergilir saja, umpamanya setiap minggu bergantian Misa dari gereja paroki Maria Gunung Karmel di Rajawawo, atau dari kapel ekologis Stasi St Sebastianus Nanganesa, atau gereja paroki Tentang di Manggarai, atau dari gereja paroki Ruto di Selatan Ngada.

Jika pendemi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin, yang mau menikah bisa mengikuti Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) di paroki mana saja, bukan lagi di paroki asal. Yang mau baptis bisa rendam di bak mandi rumahnya, sambil ikuti petunjuk aplikasi khusus. Pokoknya pelayanan sakramen dilakukan secara virtual. Semua dengan aplikasinya masing-masing. Teolog mungkin sedang berpikir ke arah itu, bahwa ‘tanda kehadiran Allah’ mesti mengikuti budaya terkini, digitalisasi.

Sebab, “Whenever they enter a new era of history, people change their ideas of both humanity and divinity” (Setiapkali mereka memasuki sebuah era baru sejarah, orang-orang mengubah gagasan – gagasan tentang kemanusiaan dan keilahian), kata Karen Armstrong, sebagaimana saya pungut dari buku ‘Entertainment Theology (Cultural Exegesis), New-Edge Spirituality in a Digital Democracy’ – Barry Taylor (2008).

Lebih dari itu, kita (saya) sedang menunggu rumusan teologi yang lebih kontekstual bernama ‘teologi digital’. Sebagaimana ‘teologi’ adalah obrolan tentang Tuhan (theos), tetapi bukan sembarang obrolan tentang Tuhan, teologi memiliki prosedur tertentu untuk ngobrol tentang Tuhan (A. Setyawan, SJ, 2014). 

Teologi digital itu diharapkan seperti rancang bangun pemaknaan lebih akan hubungan kita dengan yang transenden, hingga sedapat mungkin digitalisasi bantu ‘menebak’ apa yang dilakukan Allah terhadap kita, dan melihat kadar (kuasa/kemampuan) iman kita akan Allah. 

Why not!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun