Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pesan Kehidupan dari Kampung Adat Bena, Flores

6 September 2016   11:32 Diperbarui: 6 September 2016   19:40 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian rumah adat kampung Bena. Foto:Roman Rendusara

Juga, bagi penduduk Bena, rumah adalah tempat sikap taat-tunduk kepada Sang Pencipta diletakkan. Beberapa ukiran pada kebapere, yang mengapit dua sisi pintu masuk menuju sa’o one bermakna sujud dan hormat kepada Mataraga (sebagai penghubung antara Penguasa dan manusia yang berdiam dalam rumah).

Beberapa lembar sarung hasil tenun ikat. Foto: Roman Rendusara
Beberapa lembar sarung hasil tenun ikat. Foto: Roman Rendusara
Seni ukir pada rumah dan tenun ikat pun memberi pesan dalam bentuk-bentuk motifnya. Ukiran pada rumah adat ini biasanya terlihat langsung pada rumah bagian pinggir depan teda moa, yakni tebe teda di sa’o meze. Motif sawa yang paling banyak menghiasi beberapa rumah. Dalam satu papan terkadang sawa diukirkan menjadi tiga; lalu (laki-laki), susu (perempuan) dan mesa (anak).

Motif manu (ayam) merupakan lambang kemuliaan, sebab ayam bisa berpindah ke tempat yang lebih tinggi. Selain itu, ayam jantan sebagai tanda memulai kehidupan. Ayam jantan biasa berkokok di pagi hari pertanda membangunkan manusia untuk memulai aktivitas. Motif jara (kuda) memberikan pesan buti woha boda moe ngai jara.

Artinya, harus bekerja keras seperti kuda supaya hasil kebun melimpah. Kuda juga sebagai moda transportasi kala itu. Motif sawa berbentuk ular atau hewan lain. Sebagai pelindung rumah dari kekuatan jahat. Ukiran pada ngadhu hanya menampilkan sawa dalam bentuk yang lebih tegas, dibagi menjadi tiga bagian dari atas ke bawah. Ukiran ini adalah palu telu, menggambarkan tiga lapisan sosial dalam masyarakat.

Sementara itu, ragam motif sarung tenun ikat di Bena memberikan pesan mirip dengan motif ukiran di atas. Seperti daerah lain di Ngada, umumnya motif bergambar jara (kuda), wa’i manu (cakar ayam), ghi’u (garis dinamis), ube (figur yang memegang tombak), ngadhu dan bhaga. Motif sarung mempunyai disesuaikan dengan jenis kelamin pemakai.

Motif wa’i manu untuk anak-anak, bermakna sedang berada pada langkah awal memulai hidup dan membekali diri dengan ilmu demi masa depan. Motif jara (kuda) bermakna kekuatan dan kerja keras. Selain kuda sebagai sarana transportasi utama. Motif ghi’u berbentuk kurva melengkung seperti gunung sebagai tanda manusia harus siap menghadapi hidup yang dinamis.

Motif ube adalah figur memegang tombak, simbol pertahanan dan perlindungan diri dari musuh. Motif ngadhu, berarti seorang laki-laki dewasa harus melindungi keluarga, mencari nafkah dan penegak nilai-nilai kebajikan. Motif mbaga dipakai perempuan yang sudah beranak sebagai simbol kesuburan. Warna dasar sarung sama umumnya di Ngada adalah hitam.

Namun yang membedakan tenun ikat Bena dengan kampung lainnya terletak pada penggunaan warna dasar motif biru nila. Kekhasan motif Bena adalah garis tepian merah dan kuning pada tepi bawah.

Sejenak bersama Bapak Paulus. Foto: Roman Rendusara
Sejenak bersama Bapak Paulus. Foto: Roman Rendusara
Akhirnya, perjalanan menyusuri kampung Bena hari ini (4/9) adalah tapak-tapak sunyi pembelajaran sejarah dari kearifan lokal leluhur. Di Bena, pesan-pesan kehidupan tersaji apik dalam lukisan dan motif tenun. Ia terpaut gagah dalam rumah-rumah adat. Bena mengajak saya kembali memakni awal memulai hidup (dalam motif wa’i manu), terus membakar semangat kerja keras (dalam motif jara), serta memahami setiap peristiwa hidup, jatuh dan bangun (motif ghi’u) sambil tetap sigap sebagai ube (mempertahankan diri). Juga sujud syukur kepada Sang Pemberi Kehidupan (Mataraga).

Bapak Paulus, salah seorang penduduk Bena, berpesan jelas, “Ema, ini (Bena) sudah milik umum. Bukan lagi milik orang Bena saja. Setiap hari orang-orang datang. Banyak bule-bule. Kita jaga sama-sama”.

Awan mulai bergandengan tangan. Perlahan turun dari Puncak Inerie. Kami bergegas meninggalkan kampung Bena.  

=================

Catatan: Ema adalah sapaan kepada anak laki-laki dari orangtua/yang lebih tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun