Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Aku Petani, Aku Sarjana

25 Oktober 2011   23:55 Diperbarui: 29 Agustus 2020   08:14 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp


Kadang - kadang saya merasa begitu bodoh dan tolol. Pagi seperti ini saya harus mempersiapkan segala sesuatu. Berpakaian yang rapi ala petani. Kaus leher bundar putih dibalut jaket kulit warna coklat. Celana jeans warna biru kusam dan sobek sana - sini ikut menutupi tubuhku. Tanpa harus sarapan pagi. Saya mengambil parang dan sarungnya. Tangan kanan memegang sehelai karung plastik bekas isi beras dari kota. Di atas punggungku ada tas dengan sebuah laptop yang melengket. Dan ketika keluar dari rumah saya memanggil beberapa ekor anjing untuk menemani saya. 

Kemana? Sekitar pukul 09.00 WIT saya harus sudah sampai di kebun.

Musim seperti begini seperti biasa petani ladang di desaku masih mempersiapkan lahan untuk menanam padi. Ada sebagaian lain sudah menanam. Ketika sampai di kebun saya selalu sempatkan online sekitar 30 menit. Hanya sekedar mengetahui informasi yang berkeliaran di dunia cyber. Sebut saja, ada kompas.com dan kompasiana adalah menu sarapan pagiku. Sekedar melahap informasi teraktual. Entah politik, ekonomi dan sosial budaya. Atau menjenguk kompasiana sekedar meneguk air coretan - coretan kompasianers yang sangat indah, menarik, motivatif dan inspiratif. Kata "inspiratif" perlu saya menggaribawahi karena yang mendorong saya terus meneguknya. 

Tentu juga dilengkapi menu lain yang tak kalah menarik. Salah satunya adalah facebook.com untuk sekedar menyapa dan "halo pa kbr" dengan para sahabat di blantika maya. Kemudian saya bekerja, mempersiapkan lahan untuk menanam padi. Atau di hari lain, saya memanjat dan memetik kelapa, memetik kakao dan masih banyak kegiatan lainnya. 

Sore hari menjelang matahari terbenam, sekitar pukul 16.00 WIT saya kembali berselancar di dunia maya. Lamanya tak menentu karena batterai laptop cepat sekali low. Mau ngecas tidak ada listrik. Sinyal saja kadang - kadang hilang muncul. Begitulah catatan harian seorang sahabat tanah dengan laptop kesayangannya. Sampai kembali ke rumah. 

Saya pun kembali bergulat dengan pernyataan di atas. Kadang - kadang saya merasa begitu bodoh dan tolol. Mengapa? Saya baru tiga bulan ini menceburkan diri sebagai petani. Ada yang salah? Justru tidak ada. Yang salah adalah pikiran dan perasaan saya sendiri ketika mendengar obrolan dan gosip orang - orang desaku. "Sarjana ko kerja kebun" begitu celetuk orang - orang desaku. "Orangtua su biaya kuliah setengah mati, pulang hanya mo pilih kemiri sa", keluh yang lain. 

Ada lagi seorang sahabatku pernah berujar sambil becanda, "kau tinggal di kampung, nanti kera - kera datang curi kau pu ijazah S1 haha..." 

Saya hanya tersenyum dan dipikiranku berkeliaran sejuta tanya, mengapa status pendidikan justru menjadi kendala ketika aku memilih pulang dan menjadi sahabat tanah? Saya pikir saya tidak salah kuliah. Orangtuaku tentu tidak bodoh untuk membiayai saya sampai menyandang gelar sarjana. Bukankah mereka membiayai kuliahku dengan kelapa yang kupetik ini?, dengan kemiri yang kupungut ini? Dan dengan kakao yang kupetik ini? Dari pertanyaan - pertanyaan reflektif itu, saya mengakui saya tidak bersalah untuk memilih profesi ini. 

Orang - orang sekampungku pun tidak bersalah. Malah banyak juga yang mendukung saya. Namun dibalik itu semua, saya menyadari bahwa menjadi petani pun bukan sebuah pelarian. Memang tidak selalu perlu berpendidikan tinggi tapi cukup rendah hati, kerja keras dan tetap menjadi sahabat terbaik alam. Seorang petani adalah orang besar. Mereka yang menjadikan saya berpendidikan. Mereka tidak kecil dan tidak harus selalu dikecilkan seperti yang selalu dipredikatkan pemerintah ini kepada petani - petani kita, dimana hasil - hasil pertanian tidak dihargai secara layak. 

Hal ini menjadi bukti bahwa para petani dianak-tirikan di tanah sendiri. Ironis. Akhirnya saya kuatkan hati. Saya tidak bodoh dan tolol. Saya tidak salah telah menghabiskan puluhan juta rupiah hanya untuk kuliah. Di sini saya memaknai bahwa bekerja adalah pengaktualisasi diri dengan potensi - potensi yang saya miliki sebagai insan manusia. 

Dan menjadi petani adalah pilihan untuk mengaktualkan diri sembari menjadi sahabat alam dan mencintai ekologis.

Ndetu Sawa, 26 Oktober 2011

yang tercecer ketika sinyal hilang - muncul

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun